Search This Blog

Introduction

Bermula dari dirangkai. Titik demi titik dirangkai menjadi garis. Garis demi garis dirangkai menjadi huruf. Huruf demi huruf dirangkai menjadi kata. Kata demi kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat dirangkai menjadi alinea.

Monday, June 20, 2011

What Diah Has Recommended: Kutipan, Ulasan dan Pujian "Membuka Mata Ketiga" karya Leonardo Rimba

 Kutipan:

“Apakah mata ketiga itu? Apakah Simbol itu? Dan bagaimanakah cara interpretasi simbol yang muncul di kesadaran manusia hidup itu? Tiga pertanyaan mendasar itu akan dicoba dijawab dalam 106 (seratus enam) percakapan yang menjadi isi dari buku ini. Semua percakapan itu dilakukan antara bulan Maret 2007 sampai dengan Maret 2008 melalui Yahoo Messenger dan e-mail. Memang melalui internet; baik pertanyaan, jawaban, dan bahkan sirkulasi semua dilakukan melalui internet. Yang ditanyakan, itulah yang dijawab. Bertanya juga apa adanya saja, dan dijawab apa adanya juga. Semuanya berjalan apa adanya saja, tanpa dibuat-buat, tanpa rekayasa. Dan itu bisa terlihat dengan jelas dalam gaya bahasa yang digunakan. Bahasa sehari-hari saja yang mudah dimengerti dan dicerna oleh siapa pun yang memahami bahasa Indonesia.

Bagian pertama berisikan tanya-jawab seputar pengertian tentang simbol. Bagian kedua tentang interpretasi simbol yang muncul dalam mimpi. Bagian ketiga tentang simbol yang muncul dalam penglihatan. Prinsip-prinsip interpretasi selalu sama, baik simbol itu muncul dalam mimpi maupun penglihatan, dan itu bisa ditelusuri dengan mudah di dalam tanya-jawab yang ada. Bagian ketiga merupakan satu sampel bagaimana suatu tanya-jawab tentang mata ketiga, simbol, dan interpretasinya itu berjalan dalam “real time”. Ada 12 (dua belas) tanya-jawab antara Jacky Chen (mahasiswa di Jakarta, 20 tahun) dan saya. Dan pembaca akan bisa melihat bahwa Jacky sedikit demi sedikit akhirnya memahami apa yang dinamakan mata ketiga itu, apa hubungannya dengan kehidupan kita sebagai insan spiritual, dan bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari secara apa adanya saja.”

Ulasan:

Mata ketiga adalah mata batin yang terletak di antara dua mata, sering disebut sebagai Mata Tuhan, Mata Siwa, atau Cakra Ajna. Mata ketiga adalah pusaran energi yang menjadi pengendali dari semua cakra yang berada di dalam diri manusia dan yang menghubungkan jiwa dengan dimensi-dimensi yang lebih tinggi melalui bahasa simbol. Terbukanya mata ketiga adalah tersingkapnya tirai batin untuk melihat dan mengalami pengalaman-pengalaman spiritual yang tak biasa. Wawasan serta-merta akan berkembang dalam menyaksikan realitas fisik yang ilusif dan menipu. Terbukanya mata ketiga akan membangkitkan kesadaran seseorang untuk melihat sesuatu secara apa adanya, tanpa menilai, apalagi menghakimi. Terbukanya mata ketiga akan menghubungkan diri kita dengan "higher self", roh pembimbing, atau malaikat-malaikat di dimensi yang lebih tinggi.

Buku ini menampilkan kisah-kisah nyata tentang pengalaman-pengalaman spiritual terkait dengan pengalaman mata ketiga (mimpi, perjalanan astral [OOBE], pertemuan dengan roh di alam lain, dan masalah-masalah spiritual lainnya), disampaikan dalam bentuk percakapan “gaib” antara Leonardo Rimba (spesialis pembuka mata ketiga) dengan teman-teman perjalanan spiritualnya. Melalui buku ini, Anda diharapkan bisa mengaktifkan sendiri mata ketiga Anda, untuk meraih keseimbangan diri, kebahagiaan, juga kewaskitaan. Bersiaplah untuk mengembara menembus batas ruang dan waktu, menuju alam spiritual yang ada di dalam diri Anda. Inilah sebuah buku yang akan membantu menemukan kesejatian di dalam diri. Sebuah buku yang akan mengubah paradigma spiritual di Indonesia.

Pujian-Pujian:

“Melalui buku ini, para pembaca bisa mengaktifkan sendiri Cakra Ajna (mata ketiga)-nya. Cakra Ajna terletak di antara alis mata kanan dan alis mata kiri. Cakra ini bisa terus diaktifkan dengan tujuan spiritual yang aplikatif, semisal melihat cakra orang lain, energi positif atau negatif pada orang lain, makhluk spiritual atau makhluk gaib, dll. Cakra Ajna memiliki dua bagian, depan dan belakang. Bagian depan menguasai otak besar, bagian belakang menguasai otak belakang. Cakra Ajna bagian depan akan menyeimbangkan Cakra Ajna bagian belakang. Cakra Ajna juga merupakan titik pemusatan perhatian dan pengatur cakra-cakra lainnya, untuk keselarasan dan keseimbangan. Selamat kepada Mas Leo atas terbitnya buku ini. Sebuah gagasan yang sangat bagus untuk memperkenalkan mata ketiga kepada masyarakat umum!”
—Rini Candra, Master Maha Yoga Kundalini (Bekasi)

“Leonardo Rimba sangat brilian. Dengan pengetahuan yang mendalam dan gaya tulisan yang lucu, enak dibaca, dan mudah dipahami, dia mampu menjadi pemandu spiritual ideal yang membantu kita memahami mata ketiga serta simbol dan interpretasinya yang kompleks.”
—Rangga L Tobing, penulis, pengamat spiritual dan sains (Bandung)

“Leonardo Rimba berhasil membantu banyak orang yang terlibat masalah dengan cara menawarkan sebuah way out ala spiritual. Saya sangat menggemari tulisan-tulisannya. Saya berharap buku-bukunya yang lain muncul setelah ini, karena menurut pengamatan saya, setelah pembukaan mata ketiga, harus ada seorang master yang terus menjaga dan memelihara kesadaran yang telah terbangkitkan.”
Haslinda Razalie, aktivis spiritual (Jakarta)

“Buku yang mencerahkan dengan cerita-cerita sederhana yang membuka mata batin kita bahwa setiap manusia berhak untuk menikmati hidup dengan bahagia dan bebas dari rasa takut, tanpa adanya ancaman dari dogma agama. Ternyata, spiritual truth is very simple!”
—Widya Astuti, mahasiswi (Denpasar)

“Membaca Leonardo Rimba adalah membaca masa depan dengan mengobrak-abrik masa lalu. Dia begitu progresif, bahkan anarkis, dalam menggoreskan kata-katanya. Kedalaman analisisnya, disertai paparannya yang apa adanya, akan membuat kening Anda berkerut. Tulisan-tulisannya akan memaksa Anda untuk mempertanyakan semua yang selama ini Anda percayai dan membuat Anda melihat hidup Anda lebih dalam lagi. Buku ini adalah sebuah aufklarung (pencerahan) di tengah kering kerontang keberagamaan di Indonesia.”
—Muhammad Amin, pengusaha (Amsterdam, Belanda)

“Di bagian dialog dengan ‘Jacky Chen’, wah, saya paling suka itu. Asyik dan lucu. Saya tidak menyangka ada banyak orang yang punya pengalaman seru. Masih bikin saya tercengang dan agak bengong. Seperti dongeng. Seperti sedang membaca kisah dari orang-orang yang hidup di dunia yang tidak begitu saya kenal.”
—Kanthi Asih, aktivis HAM (Jakarta)

“Sadar atau tidak, kita adalah orang-orang yang sedang mencari. Buku ini menyodorkan sisi lain dari ratusan sisi bagi kita yang sedang mencari. Tujuannya tidak lain adalah untuk berbagi dan menyadari bahwa dalam keberagaman, sebenarnya kita bertujuan sama, yakni agar kita semua dapat menikmati keindahan dalam perbedaan. Buku ini mengajak kita untuk lebih mengenal diri kita masing-masing, tanpa penilaian dan prasangka terhadap yang lain.”
—I Gusti Budianthika, aktor film (Gold Coast, Australia)

“An eye between the eyes, suggestively referred as the third eye, Shiva’s Eyes and God’s Eye. There’s a balance in thought, wherein the third eye functions with the same purpose as our two eyes which can utterly see the perspective of space, shape, colors, beauty and abhorrence of reality. Close your eyes, shut-off the 3-D reality, the sensual feeling entrapped in the mind has provocatively set an imagination which triggers the emotion softly or wildly. Let the emotion subside to give way the emerging of real feelings. The realization of balance in emotion is deprived of senses, the eye between the eyes, can witness the shapes of energy (aura of shapes) in 3-D setting which let us feel the higher sensitivity that supersedes the matter.”
—Niki Saraswati, seniwati (Denpasar)

“Buku ini adalah sebuah karya yang berbeda dari buku-buku sejenis. Di dalamnya berisi tanya jawab antara si penanya dengan si penjawab. Si penjawab merespons pertanyaan si penanya dengan spontan, tanpa pikir panjang dan apa adanya. Yang ada pada saat itu, itulah yang menjadi jawabannya. Mungkin bagi beberapa orang isinya agak ngawur. Tapi, begitulah interpretasi, bisa berbeda masing-masing orang.”
—Andrea Febrian Marcel, pengusaha muda (Jakarta)

“Terbukanya mata ketiga adalah bangkitnya kesadaran seseorang untuk melihat sesuatu secara apa adanya, tanpa menilai apalagi menghakimi. Terbukanya mata ketiga adalah terhubungnya diri kita dengan yang disebut higher self, roh pembimbing, kakang kawah, atau sebutan lainnya. Secara sederhana, terbukanya mata ketiga adalah bersatunya kesadaran manusiawi dengan kesadaran roh. Selamat atas buku Mas Leo yang inspiratif ini.”
—Wawan Sumanta, aktivis spiritual (Tangerang)

“Mimpi hanya sebatas mimpi yang tidak nyata, bunga tidur belaka. Sedangkan simbol atau pertanda yang tiba-tiba muncul hanya sebatas kebetulan semata, tak lebih. Demikian biasa orang menyikapi sebuah pengalaman hidup, yang sesungguhnya adalah sebuah pesan yang mesti disikapi lebih lanjut. Membuka mata ketiga adalah bentuk usaha paling mudah yang ditawarkan Leonardo Rimba untuk memaknai mimpi dan pertanda yang hadir menghampiri kita, di mana di sini akan diulas secara singkat, akurat, serta sederhana. Mata ketiga diharapkan akan menyempurnakan indra fisik yang seringnya silau serta menyesatkan. Dengan perantaraan ‘indra’ mata ketiga yang dimiliki setiap orang, diharapkan perjalanan spiritualnya bisa semakin berwarna serta tercerahkan di setiap
—Yanti Kusumastuti, pengusaha internet (Yogyakarta)

“Membaca buku yang sarat dengan pengalaman orisinal ini sedikit-banyak telah mempengaruhi kesadaran saya mengenai acceptance terhadap diri saya, keberadaan saya, dan pada akhirnya terbukanya diri saya terhadap apa pun yang ada di luar diri saya. Bukan untuk mengesampingkan yang sudah ada dan tertata, tapi lebih memahami segala sesuatu apa adanya, tanpa rekayasa. Itulah orisinalitas.”
—Hanida Widyaningtyas, karyawati swasta (Semarang)

“Tulisan-tulisan Leonardo Rimba selalu menambah wawasan saya mengenai spiritualitas dan agama. Sehingga, hal itu banyak mengubah sikap saya untuk tidak menjadi fanatik dalam menyikapi perbedaan. Buku ini menarik untuk dibaca sebagai pengetahuan mengenai spiritual yang sering disalahartikan oleh banyak orang.”
—Denny Nicolas, pengusaha swasta (Jakarta)

“Buku ini bagi saya setara dengan perjalanan menuju puncak Borobudur. Sebelum mencapai pencerahan di puncak, kita disuguhi berbagai relief batin. Dari topik sehari-hari maupun topik penuh kontroversi, semua ditulis secara blak-blakan. Uniknya, dengan gaya khas Pak Leo, perjalanan tersebut bukanlah sebuah prosesi yang khusyuk sebagaimana ritual-ritual yang kita kenal, namun seperti sebuah trekking santai yang bisa disambi sambil ngopi atau ngeteh. Untuk manusia-manusia Indonesia yang masih terkungkung oleh ritual agama, bersiaplah untuk sebuah tsunami spiritual. Untuk Anda yang sudah melawati fase ritual dan mendambakan sesuatu yang lebih, bersiaplah untuk membuka mata ketiga Anda.”
—Johannes Nugroho Onggo Sanusi, pengusaha swasta (Surabaya)

“Sedari kecil, banyak sekali pertanyaan di benak saya tentang Tuhan dan kehidupan. Seiring waktu, alam langsung turun tangan, memberikan jawaban berupa perjalanan yang mengantar saya hingga bisa bertemu Pak Leo dan teman-teman Spiritual Indonesia lainnya. Lewat tulisan-tulisan Pak Leo, saya jadi mengerti bahwa saya bisa bertemu Tuhan kapan pun, sebab Tuhan tak beda dengan kesadaran kita sendiri. Buku ini adalah salah satu yang terbaik dari tulisan Pak Leo, yang semakin mengembangkan kesadaran dan spiritualitas saya.”
—Devia Arisandi, mahasiswi (Jakarta)

“Saya seperti melihat sekumpulan manusia yang sedang berdialog lintas agama, budaya, negara, dan profesi dengan cara yang santai serta cerdas, yang mampu memperlihatkan benang merah dari beragam agama. Buku ini membantu saya untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi tentang Tuhan, neraka, surga, setan, atau malaikat. Ini buku yang wajib dibaca oleh orang-orang yang hatinya selalu haus akan kebenaran di tengah lautan dogma yang sering kali menenggelamkan kita dalam kebingungan.”
—Yulius Leonarta Tarigan, pengusaha internet (Medan)

“Tulisan yang sangat menggigit, apa adanya, simpel, bahasanya gaul tapi penuh makna, tepat sasaran, juga berdasarkan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Topik serius seperti Tuhan dapat dibawakan dengan santai. Dan ternyata, Tuhan juga sekadar konsep. Buku ini mampu membuka sekaligus memberikan pandangan baru mengenai sosok Tuhan yang kaku dan jauh di ujung langit sana. Setelah membaca tulisan Om Leo ini, saya menemukan sesuatu yang really fresh and new! Tuhan tidaklah sejauh itu asalkan kita mau mempelajari simbol-simbol keberadaan-Nya di sekitar kita!”
—Wenny Anggraini, karyawati swasta (Mataram)

“Di saat doktrin agama sudah merajalela, manusia zaman sekarang banyak yang akhirnya tidak kreatif, bahkan cenderung jauh dari pemahaman spiritual yang sebenarnya. Namun manusia diberi akal oleh Sang Pencipta dan akhirnya sebagian dari mereka pun mampu bersuara untuk mencari kebenaran dari pemahaman yang sudah ada. Membuka Mata Ketiga adalah pergumulan anak-anak manusia yang mencari kebenaran dan petunjuk-petunjuk penting dalam kehidupan mereka. Semua dibahas secara terbuka oleh Om Leo, yang memiliki banyak pengalaman spiritual sepanjang perjalanan hidupnya.”
—Deniya Patricia, pembaca kartu tarot (Jakarta)

“Ini zamannya jiwa-jiwa yang senang dengan keterbukaan dan keterusterangan beraksi. Tulisan-tulisan Leonardo Rimba punya jiwa itu. Sebagai seorang pemikir bebas, saya suka tulisan-tulisan Leo. Sayangnya, selama ini kebanyakan tulisan Leo hanya banyak nongol di dunia maya yang, tentu saja, terbatas. Kehadiran buku ini memangkas kekurangan tersebut. Selamat membaca!”
—Frans Donald, penulis dan pemikir bebas (Semarang)

“Leonardo Rimba adalah singa! Raungannya membuka mata-mata yang tengah terlelap.”
—Nugraha Adi Pratama, mahasiswa (Melbourne, Australia)

“Tulisan Mas Leo sangat gamblang, sederhana, dan mampu menelanjangi pikiran-pikiran saya dari dogma dan belief system yang menyesatkan. Tak perlu ritual-ritual atau ide-ide yang rumit. Telanjang saja dan menjadi diri Anda sendiri.”
—Ellsy Ayu Anggraeni, pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia (Jakarta)

“Buku ini harus dibaca oleh semua orang agar bisa keluar dari ‘tempurung katak’ dogmanya. Mas Leo, setelah membaca buku ini, saya jadi sangat ingin untuk berdiskusi dengan Mas Leo tentang sebuah pertanyaan yang saya simpan selama lebih dari 25 tahun. Sepertinya Mas Leo adalah orang yang tepat untuk menjawab pertanyaan saya.”
—Lucia Setio Utomo, pengusaha garmen (Solo)

“Membaca buku ini membuat jidat saya terasa cenut-cenut karena begitu besarnya energi di dalamnya.”
Wahyu Sulistiyo, musisi (Depok)

“Pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku ini, apabila dibaca, akan menjadi sesuatu yang sangat menghibur sekaligus mendidik bagi siapa saja yang memahami serta mengerti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.”
—Ika Sari Puspita, pegawai negeri sipil (Jakarta)

“Membaca buku ini adalah sebuah pengalaman yang sangat unik. Penulis memberi saya sebuah paradigma baru yang ‘lain’. Mata ketiga atau mata batin diulas sangat lengkap di sini. Jika dulu saya mengira mata ketiga berfungsi untuk melihat hal-hal yang tak kasatmata, lewat buku ini penulis menguraikan bahwa mata ketiga bukanlah seperti apa yang selama ini saya kira. Mata ketiga adalah cara pandang kita yang berbeda dalam melihat segala sesuatu. Dan ini didapat lewat meditasi di kelenjar pineal yang penulis istilahkan dengan God’s Spot. Mengenai simbol-simbol, saya terkesan dengan apa yang diuraikan penulis dengan interpretasi yang mendalam dan terlepas dari segala belief system. Sungguh sebuah pencerahan!”
—Ernest Lesmana, pegawai swasta (Tangerang)

“Bagi saya, buku ini adalah surat cinta dari sang pengarang kepada setiap jiwa yang mengembara mencari kesejatian. Kita dibawa kepada pencerahan menyejukkan yang sering kali sangat mengharukan. Kelucuan terselip di sana-sini, sebagai merupakan kejujuran yang jenaka, dan yang lainnya adalah sebuah kesadaran betapa bodohnya kita selama ini.”
—Nicolas Noviyanto, penerjemah (Jakarta)

“Buku ini amat banyak manfaatnya. Saya sangat berharap Membuka Mata Ketiga ini bisa dibaca oleh banyak orang. Semoga damai datang dari segala arah.”
—Jiwa Negara Yanik, karyawan swasta (San Francisco, USA)

“Spektakuler! Luar biasa! Walau hanya pergumulan sederhana, namun isi tulisan-tulisannya membuat banyak orang jadi tercerahkan karena buku ini mampu membuka mata batin atau mata ketiga.”
—M. Nizar, dosen politeknik (Palembang)

“Bacaan ini sangat berguna untuk semua kalangan, baik tua maupun muda, religius maupun non-religius, baik yang masih percaya keagungan Tuhan atau yang atheis sekalipun. Mengupas tuntas sisi kehidupan manusia yang mencari pencerahan, mengejar eksistensi Tuhan, menemukan jati diri, tentunya di alam kesadaran.”
—Dafri Ariano, operator pemancar satelit (Jakarta)

“Semua manusia memiliki mata ketiga. Bedanya hanya apakah ia menggunakannya atau tidak. Atau, sejauh mana ia mampu menerawang berbagai tanda melaluinya. Banyak manusia menutup mata hatinya, yang sudah pasti akan menutup mata ketiganya. Banyak manusia di sepanjang hidupnya hanya bergantung kepada hasil penglihatan mata ketiga orang lain saja, tanpa berusaha mengembangkan kemampuannya sendiri. Sebuah buku yang luar biasa.”
—Made Restiati, pengusaha (Denpasar)

“Bravo, Om Leo! Akhirnya terbit juga buku ajaib ini. Terus terang, saya tidak bisa betah berjam-jam membaca buku ini. Energinya membuat saya kliyengan. Buku ajaib ini banyak mengubah pemahaman saya tentang jiwa manusia secara mendasar.”
—Vivi D. Noviyanti, psikolog (Jakarta)

Membuka Mata Ketiga bukan sekadar mampu meningkatkan pemahaman spiritual saya, melainkan juga meningkatkan penalaran dan jiwa humanis di dalam diri saya. Buku ini disajikan dalam bentuk dialog dengan berbagai individu dari beragam golongan, profesi, serta prinsip dan pola pikir yang dianut. Benar-benar membuka seluruh indra saya.”
—Indra Prayana, Asisten GM sebuah perusahaan elektronik (Jakarta)

“Cara Leonardo Rimba menyampaikan pemikirannya sungguh unik dan luar biasa. Bentuk  penulisan dan gaya bahasanya tertuang apa adanya, membuat pembaca seolah-olah berada di dalam tulisan itu sendiri, sehingga tanpa sadar mereka terbawa ke dalam sebuah bentuk komunikasi yang nyata dan interaktif. Seperti mendaki sebuah bukit, sampai pada titik tertentu kita dapat merasakan kenyataan dan hamparan fakta yang bisa digali, yang menimbulkan medan energi untuk membuka intuisi dan cakrawala berpikir kita.”
—Muallif Al Chasani, karyawan swasta (Surabaya)

“Buku ini disajikan dengan gaya bahasa imajinatif dan naratif yang mudah dipahami oleh orang-orang awam. Lahirnya buku ini membuktikan bahwa Leo telah berhasil mendobrak kemapanan sistem dan norma yang dianut oleh masyarakat. Two thumbs up buat Leo!”
—Diah Marliati, blogger dan penikmat buku (Jakarta)

“Energi dari buku ini sungguh sangat kuat. Siapa saja yang mampu menangkap frekuensi energinya pasti akan paham. Jujur, Bang Leo, tulisan Abang ini merupakan modal saya yang utama untuk naik kelas. Akan tetapi, bagi yang belum bisa menyadari adanya frekuensi energi yang ‘aneh bin gila’ dari buku ini, lebih baik berhati-hati. Sebab, tulisan Bang Leo ini bisa membuat yang gila menjadi waras, atau sebaliknya.”
—Arief Pribadi, praktisi meditasi (Sidoarjo)

“Membaca tulisan-tulisan Mas Leo menjadikan saya mampu berpikir lebih jernih dan tajam. Gaya tuturnya enak disimak, tegas, dan mudah dipahami. Saya sangat merekomendasikan buku ini bagi kalangan luas.”
—Rudiyana Supriadi, master teacher of hypnotherapy (Garut)


Sampul Muka
SEGERA TERBIT AWAL AGUSTUS 2011!


Judul: Membuka Mata Ketiga (Menyingkap Rahasia Alam Spiritual)
Pengarang: Leonardo Rimba
Penyunting: Endah Sulwesi
Penyelaras Bahasa: Salahuddien Gz
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penerbit: Dolphin
Harga: Rp 65.000,- (400 hlm. Bookpaper)

BISA INDEN SEKARANG DENGAN DISKON 15% (Jadinya Rp 55 ribu + ongkos kirim) MELALUI INBOX AKUN SALAHUDDIEN GZ DENGAN MENULISKAN ALAMAT PENGIRIMAN .

No comments:

Post a Comment