Sebelum bekerja di toko roti, ayah bekerja di tempat pemotongan dan penjualan daging ayam. Setiap kembali dari bekerja dia selalu membawa sisa daging ayam yang tidak habis terjual. Oleh ibu, digoreng, digule, disate, tetapi yang sering digoreng karena mudah penyajiannya dan tidak membutuhkan berbagai macam bumbu tambahan. Aku tidak mau kalah dengan kakak dan adik berebut mengambil potongan daging ayam paling.besar. Tidak heran, kami segera menyerbu setelah ibu selesai menggoreng. “Kakak adik sama saja,” celetuk ayah melihat kelakuan kami.
Ketika harga daging ayam naik dua sampai tiga kali lipat, ayah masih melengkapi lauk-pauk kami dengan daging ayam, tetapi tidak berlangsung lama karena daging ayam tiba-tiba menghilang di pasaran. Ibu tidak lagi menghidangkan daging ayam dan kami menerima lauk-pauk apa saja yang tersedia di meja makan.
Dengar punya dengar, ternyata peternakan ayam telah dihaki kerajaan. Dengan alasan, pendistribusian yang lebih diutamakan ke kerajaan seberang akan meningkatkan pundi-pundi kerajaan. Pundi-pundi yang melimpah akan dialokasikan untuk kemakmuran rakyat dan pembangunan wilayah. Daya beli rakyat kerajaan seberang yang tak memproduksi ternak unggas, khususnya ayam, lebih tinggi dan sekaligus memperkenalkan legit dan gurihnya daging ayam kerajaan ini.
Untuk menjamin daging ayam didistribusikan secara tepat, kerajaan menerbitkan peraturan tentang pembatasan pihak-pihak yang diizinkan membiakkan ayam dan memakan daging ayam. Peraturan tersebut memuat bahwa setiap orang dilarang beternak ayam dan memakan daging ayam kecuali telah memiliki surat yang telah disegel oleh kerajaan. Peraturan tersebut juga menyebutkan sanksi yang harus dijalani bagi yang melanggar peraturan.
Pertama, sanksi bagi peternak ayam tidak sah. Mereka yang melanggar peraturan tersebut dikenai sanksi patukan ayam. Dalam keadaan tangan dan kaki terikat di lantai, terhukum dipatuk-patuki tubuhnya oleh puluhan ekor ayam sampai terluka. Tidak heran, banyak terhukum yang kehabisan darah sampai akhirnya mati. Kedua, sanksi bagi pemakan ayam tidak sah. Mereka yang melanggar peraturan tersebut dikenai sanksi makan daging ayam sepuasnya. Mulut terhukum dijejali potongan-potongan daging ayam sampai kerongkongannya tersedak dan perutnya membuncit kadang pecah karena tidak sanggup lagi menampung potongan-potongan ayam itu.
Kami lambat laun berusaha melupakan daging ayam yang menggiurkan lidah dan beralih ke lauk-pauk lain, begitu pula dengan sanak saudara dan tetangga. Tiada lagi ayam berkeliaran di jalanan mengais-ngais tanah. Seekor ayam sama harganya dengan seperangkat televisi, itu pun transaksi dilakukan secara diam-diam.
Dalam waktu singkat, para peternak ayam menjadi jutawan. Yang biasanya mereka meminjam koin ayah malah sekarang ayah yang meminjam koin mereka. Mereka adalah orang-orang yang didelegasikan sebagian wewenang kerajaan, yaitu menjaga dan memelihara properti kerajaan atas nama rakyat supaya jangan sampai diambil alih oleh yang tidak berhak. Mereka bangga terpilih menjadi aparatur tanpa seleksi dan tanpa keahlian. Tidak sedikit juga dari mereka yang berempati dan menyesal, tetapi tidak sanggup melawan karena masih ingin hidup.
Bagaimanapun pula rakyat tetap mengecap mereka musuh yang mengancam kententeraman. Mereka dianggap lebih mementingkan pribadi daripada orang banyak, yang berarti melanggar kesepakatan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, kebersamaaan dan kemanusiaan. Label itu membuat mereka berada di posisi yang serba salah.
Setiap dua atau tiga hari kerajaan yang diwakili pemelihara keamanan menjelajahi setiap tempat tinggal, mencari oknum-oknum yang memelihara atau hendak mengolah ayam untuk disantap secara tidak sah. Seperti waktu itu, sepulang belajar aku melihat ibu termenung sedih di sofa. Ibu mengatakan, ayah ditahan tadi siang karena menyimpan hak milik kerajaan. Ayah sembunyi-sembunyi membeli daging ayam dari temannya untuk makan besar merayakan ulang tahunku.
Jakarta, October 2000
Also available at: Oase Kompas
No comments:
Post a Comment