KERANGKA AKSI MILENIUM
BIWAKO
MENUJU MASYARAKAT INKLUSIF, BEBAS
HAMBATAN DAN BERBASIS HAK
BAGI PARA
PENYANDANG DISABILITAS DI ASIA PASIFIK
RINGKASAN
Komisi ini, di
sesi kelima puluh delapan, menetapkan resolusi 58/4 tanggal 22 Mei 2002 tentang
pemajuan suatu masyarakat inklusif, bebas hambatan dan berbasis hak bagi para
penyandang disabilitas di wilayah Asia dan Pasifik di abad kedua puluh satu,
yang mana menyatakan secara resmi Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia dan
Pasifik diperpanjang, 1993-2002, selama satu dasawarsa lagi, 2003-2012.
Dokumen ini
mengemukakan rancangan kerangka aksi regional yang memberikan
rekomendasi-rekomendasi aksi kebijakan regional oleh pemerintah di wilayah ini
dan para pemangku kepentingan terkait untuk mencapai suatu masyarakat inklusif,
bebas hambatan dan berbasis hak bagi para penyandang disabilitas di dasawarsa
baru, 2003-2012. Kerangka aksi regional menentukan tujuh bidang aksi prioritas pada
dasawarsa baru ini. Setiap bidang prioritas memuat isu-isu penting,
target-target dan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Kerangka aksi
regional secara tegas memadukan tujuan pembangunan milenium dan target-target
terkaitnya untuk menjamin hal-hal terkait penyandang disabilitas menjadi bagian
utuh dalam upaya mencapai tujuannya.
I.
PEMBUKAAN
Kami, anggota dan anggota luar biasa
ESCAP yang hadir di Pertemuan Antarpemerintah Tingkat Tinggi menyimpulkan
Dasawarsa Asia dan Pasifik Penyandang Disabilitas,
1.
Mengakui
bahwa meskipun sekitar 400 juta penyandang disabilitas memiliki kecakapan untuk
berkontribusi dalam pembangunan nasional di wilayah Asia dan Pasifik dan yang
menjadi agen perubahan di komunitas mereka melalui aksi bersama mereka
meningkat, sebagian besar penyandang disabilitas masih dikecualikan dari
pendidikan, lapangan kerja dan kesempatan ekonomi dan sosial lainnya serta
sekitar 20 persennya merupakan masyarakat termiskin
2.
Mengingat
bahwa setelah Tahun Internasional Penyandang Disabilitas pada tahun 1981,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam resolusi 37/52 tanggal 3
Desember 1982, menetapkan Program Aksi Dunia bagi Penyandang Disabilitas, yang
ditujukan untuk mencapai partisipasi penuh
dan kesetaraan serta perlindungan hak-hak para penyandang disabilitas,
3.
Juga
mengingat komitmen berkelanjutan pemerintah di wilayah Asia dan Pasifik
terhadap pemajuan partisipasi penuh dan kesetaraan para penyandang disabilitas
di wilayah Asia dan Pasifik serta peningkatan kehidupan mereka melalui Pernyataan
Resmi Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik, 1993-2002, di akhir
Dasawarsa Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (1983-1992) dan
melalui penetapan Pernyataan Resmi tentang Partisipasi Penuh dan Kesetaraan
Para Penyandang Disabilitas di wilayah Asia dan Pasifik serta Agenda Aksi
Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik, 1993-2002, di peluncuran
Dasawarsa ini di Beijing pada tahun 1992,
4.
Menegaskan
pedoman-pedoman kebijakan yang dikemukakan di dalam Agenda Aksi untuk mencapai
tujuan-tujuan Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik terdiri dari 12
bidang kebijakan (koordinasi nasional, peraturan perundang-undangan, informasi,
kesadaran masyarakat, aksesibilitas dan komunikasi, pendidikan, pelatihan dan
lapangan kerja, pencegahan penyebab disabilitas, layanan rehabilitasi, alat
bantu, organisasi swa-bantu dan kooperasi regional) serta 107 target-target
khusus yang ditetapkan di pertemuan tinjauan regional pada tahun 1995, yang
semakin diperkuat pada tahun 1999 dan disahkan oleh Komisi ini di sesi ke lima
puluh enam pada tahun 2000,
5.
Mengakui
bahwa pada tahun 1990-an, prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kebijakan-kebijakan
dan program-program global di berbagai bidang seperti pendidikan, lingkungan
hidup, hak asasi manusia, kependudukan dan pembangunan, pembangunan sosial,
pemajuan kaum perempuan, anak-anak, serta tempat bernaung dan tempat tinggal
dipadukan dengan isu-isu disabilitas sebagai hal-hal substantif dalam
deklarasi, kerangka kerja dan program aksi strategisnya. terutama, Konferensi
Tingkat Tinggi Pembangunan Sosial, yang diselenggarakan di Kopenhagen pada
bulan Maret 1995, dalam Deklarasi Kopenhagen Pembangunan Sosial tersebut
tercatat bahwa para penyandang disabilitas, sebagai salah satu kaum minoritas
terbesar dunia, seringkali terpaksa miskin, pengangguran dan terkucilkan secara
sosial. Direkomendasikan pemajuan Peraturan-Peraturan Baku tentang Kesetaraan
Kesempatan bagi Para Penyandang Disabilitas dan perkembangan strategisnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan ini,
6.
Memperhatikan
bahwa komunitas dunia telah menyatakan komitmennya terhadap pembangunan ekonomi
dan sosial dalam menghadapi lajunya globalisasi dengan menetapkan resolusi
Majelis Umum 55/2 tanggal 8 September 2000 yang berjudul “Deklarasi Milenium
Perserikatan Bangsa-Bangsa”, untuk mewujudkan sejumlah besar komitmen-komitmen
khusus yang ditujukan untuk meningkatkan taraf semua umat manusia pada abad kedua puluh satu,
7.
Menghargai
bahwa di bawah semacam kondisi kebijakan yang baik di tingkat global dan
regional, anggota dan anggota luar biasa ESCAP menetapkan resolusi resolusi
58/4 tanggal 22 Mei 2002 tentang pemajuan suatu masyarakat inklusif, bebas
hambatan dan berbasis hak bagi para penyandang disabilitas di wilayah Asia dan
Pasifik pada abad kedua puluh satu, yang mana menyatakan secara resmi Dasawarsa
Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik diperpanjang, 1993-2002, selama satu dasawarsa
lagi, 2003-2012. Resolusi ini akan memberikan dorongan lebih lanjut terhadap
pelaksanaan Program Aksi Dunia bagi
Penyandang Disabilitas dan Agenda Aksi Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia
dan Pasifik di wilayah ini setelah tahun 2002,
8.
Menyetujui
bahwa secara keseluruhan peningkatan telah tercapai di seluruh 12 bidang
kebijakan di bawah Agenda Aksi, namun kemajuan itu tidak merata, terutama
mengenai rendahnya tingkat akses pendidikan bagi anak-anak dan kaum muda
penyandang disabilitas yang terus-menerus dan mengkhawatirkan, dan ditandai
dengan kesenjangan subregional yang signifikan,
9.
Mendorong
pemerintah untuk secara aktif melaksanakan pergeseran paradigma dari pendekatan
berbasis amal ke pendekatan berbasis hak untuk membina para penyandang
disabilitas dan mengubah perspektif hak asasi manusia, khususnya perspektif hak
atas pembangunan bagi para penyandang disabilitas, dengan mempertimbangkan
Resolusi Majelis Umum 56/168 tanggal 19 Desember 2001 tentang konvensi
internasional yang menyeluruh dan utuh untuk memajukan dan melindungi hak dan
martabat para penyandang disabilitas,
10.
Mendesak
Pemerintah di wilayah ini yang belum melakukannya untuk bergabung menandatangani
Pernyataan Resmi tentang Partisipasi Penuh dan Kesetaraan Penyandang
Disabilitas di wilayah Asia dan Pasifik dan berusaha keras mencapai 107 target
pelaksanaan Agenda Aksi Dasawarsa Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik,
11.
Menetapkan
Kerangka Aksi Milenium Biwako untuk memajukan masyarakat inklusif, bebas
hambatan dan berbasis hak bagi para penyandang disabilitas di wilayah ini.
Masyarakat “inklusif” berarti masyarakat untuk semua orang dan masyarakat
“bebas hambatan” berarti masyarakat bebas dari hambatan fisik dan sikap, serta hambatan
sosial, ekonomi dan budaya. Masyarakat “berbasis hak” berarti masyarakat
berbasis konsep hak asasi manusia, termasuk hak atas pembangunan,
12.
Menegaskan
bahwa Kerangka Aksi Milenium Biwako diatur dalam instrumen-instrumen,
mandat-mandat dan rekomendasi-rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya
dalam konteks yang terkait dengan disabilitas, termasuk resolusi Majelis Umum
2856 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971 tentang Deklarasi Hak-Hak Penyandang
Keterbelakangan Mental, 3447 (XXX) tanggal 9 Desember 1975 tentang Deklarasi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas, 37/52 tanggal 3 Desember 1982 tentang Program
Aksi Dunia bagi Penyandang Disabilitas, Konvensi Rehabilitasi dan Lapangan
Kerja (Penyandang Disabilitas) (No. 159), 1983, yang ditetapkan oleh Organisasi
Buruh Internasional tanggal 20 Juni 1983 beserta rekomendasi konvensinya,
resolusi Majelis Umum 48/96 tanggal 20 Desember 1993 tentang
Peraturan-Peraturan Baku Kesetaraan Kesempatan bagi Para Penyandang Disabilitas
dan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Pendidikan Berkebutuhan Khusus.
13.
Berharap
Kerangka Aksi Milenium Biwako akan berkontribusi untuk mencapai tujuan
pembangunan milenium serta target-targetnya sebagai isu-isu terkait penyandang
disabilitas menjadi hal-hal penting untuk diatasi untuk mewujudkan tujuan
pembangunan milenium terkait dan target-targetnya.
II.
PRINSIP DAN ARAH
KEBIJAKAN KERANGKA AKSI MILENIUM BIWAKO
14.
Untuk
memajukan tujuan suatu masyarakat inklusif, bebas hambatan dan berbasis hak
bagi para penyandang disabilitas, di wilayah Asia dan Pasifik, Kerangka Aksi
Milenium Biwako, dipandu oleh prinsip-prinsip dan arah-arah kebijakan sebagai
berikut:
(1)
Memberlakukan
dan/atau menegakkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan
terkait kesempatan dan perlakuan yang setara terhadap para penyandang
disabilitas serta hak-hak mereka atas kesetaraan dalam pendidikan, kesehatan,
informasi dan komunikasi, pelatihan dan lapangan kerja, layanan sosial dan
bidang-bidang lainnya. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan
tersebut harus meliputi seluruh tipe penyandang disabilitas, kaum perempuan dan
laki-laki, orang-orang di daerah perkotaan dan pedesaan dan terpencil. Harus
berbasis hak dan memajukan pendekatan inklusif dan multisektoral.
(2)
Meliputi
dimensi-dimensi disabilitas di seluruh hukum, rencana kebijakan, program dan
skema baru dan yang sudah ada.
(3)
Membentuk
dan memperkuat komite koordinasi disabilitas nasional yang akan membina dan
mengkoordinasi pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan tentang
disabilitas, dengan partisipasi efektif organisasi-organisasi dari dan untuk
penyandang disabilitas.
(4)
Mendukung
pembinaan para penyandang disabilitas dan organisasi-organisasi mereka serta
termasuk mereka yang berada dalam proses kebijakan pengambilan keputusan
nasional tentang disabilitas, dengan fokus khusus pada pembinaan kaum perempuan
penyandang disabilitas dan partisipasi mereka dalam organisasi-organisasi
swa-bantu penyandang disabilitas serta dalam prakarsa pengarusutamaan jender.
(5)
Menjamin
bahwa para penyandang disabilitas menjadi bagian utuh dari upaya mencapai
tujuan pembangunan milenium, terutama di bidang pengentasan kemiskinan,
pendidikan dasar, jender dan lapangan kerja kaum muda.
(6)
Memperkuat
kapasitas nasional dalam pengumpulan dan analisis tentang statistik disabilitas
untuk mendukung perumusan kebijakan dan pelaksanaan program.
(7)
Menetapkan
kebijakan intervensi dini di seluruh bidang multisektor, meliputi pendidikan,
kesehatan dan rehabilitasi, serta layanan sosial untuk anak-anak penyandang
disabilitas sejak lahir sampai berumur empat tahun.
(8)
Memperkuat
pendekatan berbasis komunitas dalam mencegah penyebab disabilitas, rehabilitasi
dan kesetaraan kesempatan bagi para penyandang disabilitas.
(9) Menetapkan
konsep desain universal dan inklusif untuk seluruh warga negara, dengan biaya
efektif, dalam pembangunan infrastruktur dan layanan-layanan di bidang, antara
lain, pembangunan pedesaan dan perkotaan, perumahan, transportasi dan
telekomunikasi.
III.
BIDANG-BIDANG AKSI PRIORITAS
15.
Upaya-upaya
selanjutnya harus berfokus pada bidang-bidang prioritas di mana kemajuan
ditemui tidak merata dan aksi tertinggal selama pelaksanaan Dasawarsa
Penyandang Disabilitas Asia dan Pasifik, 1993-2002, Melalui resolusi 58/4,
Pemerintah di wilayah ini menentukan bidang-bidang kebijakan prioritas sebagai
berikut:
(a)
Organisasi-organisasi
swa-bantu penyandang disabilitas serta perhimpunan keluarga dan orang tua
terkait;
(b)
Kaum
perempuan penyandang disabilitas;
(c)
Deteksi
dini, intervensi dini dan pendidikan;
(d)
Pelatihan
dan lapangan kerja, termasuk wirausaha;
(e)
Akses
lingkungan terbangun dan transportasi umum;
(f)
Akses
informasi dan komunikasi, termasuk informasi, komunikasi dan teknologi bantu;
(g) Pengentasan
kemiskinan melalui peningkatan kecakapan, jaminan sosial, dan program
penghidupan berkelanjutan.
Untuk masing-masing bidang prioritas, telah diidentifikasi sebagai berikut: (a) isu Kritis, (b) tujuan pembangunan milenium, jika ada, (c) target Kerangka Biwako dan (d) aksi yang diperlukan untuk mencapai target itu.
IV.
TARGET DAN AKSI DI BIDANG PRIORITAS
A.
Organisasi-organisasi swa-bantu penyandang
disabilitas serta perhimpunan keluarga dan orang tua terkait
1.
Isu Penting
16.
Para
penyandang disabilitas sangat berkualifikasi dan menjadi perlengkapan
terpenting untuk mendukung, memberitahukan, mengadvokasi dirinya sendiri dan
para penyandang disabilitas lainnya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kualitas
hidup para penyandang disabilitas, dan komunitasnya secara lebih luas,
meningkat jika para penyandang disabilitas sendiri secara aktif menyuarakan kepentingan
mereka dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Organisasi-organisasi
swa-bantu sangat berkualifikasi, berpengetahuan sangat luas dan sangat
termotivasi untuk berbicara atas nama mereka sendiri tentang desain yang tepat
serta pelaksanaan kebijakan, peraturan perundang-undangan dan strategi yang
akan menjamin partisipasi penuh mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi budaya dan
politik dan memungkinkan mereka berkontribusi dalam pembinaan komunitas mereka.
17.
Sangat
mendesak untuk mengakui hak para penyandang disabilitas atas representasi diri
dan memperkuat kecakapan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan. Para penyandang disabilitas harus menyampaikan isu-isu mereka
sendiri dan mengadvokasi reformasi yang akan menyebabkan kehidupan mereka terbina
dan mandiri di komunitas mereka dan masyarakat secara luas. Namun, jika
anak-anak dan yang lainnya tidak bisa mewakili dirinya sendiri, orang tua,
anggota keluarga dan para pendukung lainnya harus didorong dan dimungkinkan
membantu mengadvokasi hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan mereka sampai dukungan
tersebut tidak lagi diperlukan.
18.
Perkembangan
gerakan representatif disabilitas, yang demokratis merupakan salah satu cara
membantu menjamin bahwa penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan
dan hak para penyandang disabilitas. Organisasi swa-bantu penyandang
disabilitas harus mengikutsertakan kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi
dari daerah pedesaan serta terutama penyandang disabilitas yang
termarjinalisasi seperti kaum perempuan dan pemudi penyandang disabilitas,
penyandang disabilitas intelektual dan penyandang disabilitas kejiwaan.
2.
Target
Target 1. Pemerintah,
lembaga pembiayaan internasional dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus, pada tahun 2004, membentuk
kebijakan dengan mengalokasi sumber daya yang diperlukan untuk mendukung pembinaan
dan formasi organisasi-organisasi swa-bantu penyandang disabilitas di seluruh
bidang, dan dengan fokus khusus pada penduduk di daerah kumuh dan pedesaan.
Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin formasi perhimpunan
orang tua di tingkat daerah pada tahun 2005 dan menyatukan mereka di tingkat nasional
pada tahun 2010.
Target 2. Pemerintah dan
organisasi-organisasi masyarakat sipil harus, pada tahun 2005, mengikutsertakan
secara penuh organisasi-organisasi penyandang disabilitas dalam proses
pengambilan keputusan mereka dengan melibatkan perencanaan dan pelaksanaan
program yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kehidupan mereka.
3.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus melaksanakan langkah-langkah di bawah petunjuk komite koordinasi
disabilitas nasional untuk meningkatkan tingkat konsultasi antara organisasi
swa-bantu penyandang disabilitas dan beragam sektor kementerian, serta dengan
masyarakat sipil dan sektor swasta. Langkah-langkah ini harus meliputi
pelatihan penyandang disabilitas, termasuk kaum perempuan penyandang
disabilitas, tentang cara berpartisipasi secara efektif dalam berbagai proses
pengambilan keputusan. Pemerintah harus membentuk pedoman-pedoman pelaksanaan
konsultasi serta prosesnya harus ditinjau dan dievalusi secara berkala oleh
perwakilan organisasi-organisasi swa-bantu penyandang berbagai disabilitas.
2.
Pemerintah
harus membentuk sebuah panel tinjauan kebijakan di dalam komite koordinasi
disabilitas nasional yang terdiri dari perwakilan penyandang berbagai
disabilitas. Panel ini harus meninjau seluruh kebijakan dan pelaksanaannya yang
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi para penyandang disabilitas.
3.
Pemerintah
harus mengambil tindakan untuk meningkatkan perwakilan para penyandang
disabilitas di seluruh bidang kehidupan masyarakat, termasuk pemerintah, di
seluruh tingkat dari nasional sampai daerah, serta di badan legislatif dan
yudikatif. Hal ini harus dimajukan melalui tindakan afirmatif dan peraturan
perundang-undangan anti diskriminasi.
4.
Organisasi-organisasi
swa-bantu harus membina program-program peningkatan kecakapan untuk
memberdayakan anggota-anggota mereka, termasuk kaum muda dan perempuan
penyandang disabilitas, dalam mengambil peran konsultatif dan kepemimpinan di
komunitasnya secara lebih luas serta di organisasi mereka sendiri dan
memungkinkan mereka bekerja sebagai pelatih di pembinaan keterampilan
kepemimpinan dan manajemen anggota organisasi swa-bantu.
5.
Organisasi-organisasi
swa-bantu nasional dari berbagai kelompok disabilitas harus meningkatkan
mekanisme yang melibatkan penyandang disabilitas desa dalam organisasi
swa-bantu agar saling mendukung, mengadvokasi dan merujuk program-program dan
layanan-layanan, serta berkolaborasi secara aktif dengan LSM-LSM pembangunan
pedesaan dan perkotaan serta pemerintah dalam prakarsa pembangunan pedesaan.
6.
Lembaga-lembaga
pembiayaan internasional dan LSM-LSM harus memberikan prioritas tinggi pada
kebijakan-kebijakan pembinaannya dalam memberikan bantuan biaya dan teknis
untuk memajukan dan memperkuat organisasi-organisasi swa-bantu penyandang
disabilitas.
B.
Kaum Perempuan
Penyandang Disabilitas
1.
Isu penting
19.
Kaum
perempuan penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok paling
termarjinalisasi di masyarakat, mereka dirugikan berkali lipat karena statusnya
sebagai perempuan, sebagai penyandang disabilitas dan lebih mewakili kalangan
orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Kaum perempuan dan pemudi penyandang
disabilitas, lebih besar daripada kaum laki-laki dan pemuda penyandang
disabilitas, menghadapi diskriminasi di dalam keluarga, dan ditiadakannya akses
perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan kejuruan, lapangan kerja dan
kesempatan memperoleh pendapatan, serta dikecualikan dari kegiatan sosial dan
komunitas.
20.
Kaum
perempuan dan pemudi penyandang disabilitas mengalami diskriminasi lanjutan
karena mereka dihadapkan pada resiko pelecehan dan fisik yang lebih besar,
peniadaan hak reproduksi mereka, dan kurangnya kesempatan melakukan pernikahan
dan kehidupan keluarga. Kaum perempuan dan pemudi penyandang disabilitas di
daerah pedesaan lebih dirugikan, dengan tingkat buta huruf lebih tinggi, dan
kurangnya akses informasi dan layanan. Stigmatisasi dan penolakan di masa
kanak-kanak awal dan peniadaan kesempatan berkembang, kaum pemudi penyandang
disabilitas dibesarkan kurang perasaan nilai diri dan harga diri serta
peniadaan akses peran kaum perempuan dalam komunitas mereka.
21.
Di
dalam beberapa organisasi swa-bantu penyandang disabilitas di beberapa negara
di wilayah ini, kaum perempuan penyandang disabilitas telah menghadapi
diskriminasi lanjutan. Kaum perempuan penyandang disabilitas kurang terwakili
dalam keanggotaan organisasi dan hampir tidak muncul dalam peran kepemimpinan
dan eksekutif. Hal-hal ini tidak diatasi dalam agenda advokasi organisasi
swa-bantu dan kaum pemudi penyandang disabilitas belum ditargetkan untuk
pelatihan kepemimpinan.
22.
Gerakan
pengarusutamaan jender, yang telah memiliki pengaruh signifikan dalam
meningkatkan kesetaraan kehidupan kaum perempun non disabilitas, telah memiliki
pengaruh rendah terhadap kehidupan kaum perempuan penyandang disabilitas. Kaum
perempuan penyandang disabilitas belum diikutsertakan dalam keanggotaan
organisasi pengarusutamaan jender, isu-isu mereka belum diatasi selain
menyadari bahwa mereka diperhatikan khusus dan mereka memiliki kekurangan
keterampilan advokasi untuk mengubah situasi ini.
23.
Pemerintah
memiliki tanggung jawab khusus dalam memperbaiki ketidakseimbangan, memberikan
layanan dukungan yang dibutuhkan dan memajukan partisipasi penuh kaum perempuan
penyandang disabilitas dalam pengarusutamaan pembangunan.
2.
Target
Target
3.
Pemerintah harus, pada tahun 2005, menjamin langkah-langkah anti-diskriminasi,
jika perlu, yang melindungi hak-hak kaum perempuan penyandang disabilitas.
Target
4.
Organisasi-organisasi swa-bantu nasional penyandang disabilitas harus, pada
tahun 2005, menetapkan kebijakan-kebijakan untuk memajukan partisipasi penuh
dan perwakilan setara kaum perempuan penyandang disabilitas dalam
kegiatan-kegiatan mereka, termasuk dalam program manajemen, pelatihan
organisasi dan advokasi.
Target
5.
Kaum perempuan penyandang disabilitas harus, pada tahun 2005, diikutsertakan
dalam keanggotaan perhimpunan pengarusutamaan kaum perempuan nasional.
3.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus melaksanakan langkah-langkah untuk menjunjung tinggi hak-hak kaum
perempuan penyandang disabilitas dan melindungi mereka dari diskriminasi.
Terutama, langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk menjamin akses layanan
kesehatan, pendidikan, pelatihan dan lapangan kerja yang setara, serta
perlindungan dari pelecehan seksual serta bentuk-bentuk pelecahan dan kekerasan
lainnya.
2.
Pemerintah,
LSM-LSM dan organisasi-organisasi swa-bantu harus melaksanakan program-program
untuk meningkatkan kesadaran umum tentang situasi kaum perempuan penyandang
disabilitas dan memajukan sikap positif, contoh teladan dan kesempatan untuk
membina mereka.
3.
Pemerintah
dapat memfasilitasi pembentukan sebuah mekanisme di tingkat regional nasional,
subnasional untuk menyebarluaskan informasi terkait jender yang relevan di
kalangan kaum perempuan penyandang disabilitas. Informasi ini harus meliputi,
tetapi tidak terbatas, dokumen-dokumen internasional dan informasi tentang
peraturan perundang-undangan nasional.
4.
Organisasi-organisasi
swa-bantu penyandang disabilitas harus menjamin bahwa kaum perempuan penyandang
disabilitas terwakili di organisasi tingkat daerah, national dan regional.
5.
Organisasi-organisasi
swa-bantu harus menjamin bahwa kaum perempuan penyandang disabilitas hadir
sekurang-kurangnya setengah dari delegasi mereka di rapat-rapat,
lokakarya-lokakarya dan seminar-seminar.
6.
Kaum
perempuan penyandang disabilitas harus didorong untuk mengambil bagian dan
diberikan prioritas dalam menerima kesempatan pelatihan bidang manajerial dan
umum yang diadakan oleh organisasi swa-bantu.
7.
Pemerintah,
LSM-LSM, organisasi-organisasi swa-bantu dan para penderma harus memberikan
pelatihan kepemimpinan untuk kaum perempuan penyandang disabilitas untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang isu-isu jender dan meningkatkan kecakapan
mereka untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan di
seluruh tingkat organisasi swa-bantu penyandang disabilitas serta dalam peran
advokasi dan konsultasi dengan pemerintah dan di masyarakat sipil.
8.
Kaum
perempuan penyandang disabilitas harus membentuk kelompok swa-bantu di dalam
organisasi swa-bantu dan membentuk jejaring nasional dan regional sebagai
sarana pendukung serta penyebarluasan dan pemberian informasi.
9.
Kelompok-kelompok
dan jejaring perempuan penyandang disabilitas harus memajukan pembinaan kaum
pemudi penyandang disabilitas, dengan penekanan khusus pada akses pendidikan,
informasi kesehatan, pelatihan dan pembangunan sosial.
10.
Kelompok-kelompok
dan jejaring perempuan penyandang disabilitas nasional dan regional harus
mengadvokasi kelompok-kelompok pengarusutamaan kaum perempuan untuk melibatkan
kaum perempuan penyandang disabilitas, kelompok-kelompok swa-bantu dan
kepentingan-kepentingan mereka ke dalam organisasi-organisasi dan jejaring
kelompok pengarusutamaan kaum perempuan, untuk penyebarluasan informasi dan
dukungan.
11.
Organisasi-organisasi
pengarusutamaan kaum perempuan harus secara khusus mengikutsertakan kaum
perempuan penyandang disabilitas dalam program-program pelatihan dengan
menyediakan tempat, susunan acara dan dukungan yang mudah diakses serta
bahan-bahan pelatihan dalam bentuk yang mudah diakses.
12.
Seluruh
lembaga, termasuk pemerintah, LSM, organisasi swa-bantu, penderma dan
masyarakat sipil harus setiap saat memajukan dan menjunjung tinggi hak-hak kaum
penyandang disabilitas untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.
C.
Deteksi dini, intervensi dini dan pendidikan
1.
Isu penting
24.
Bukti-bukti
yang ada menunjukkan bahwa kurang dari 10 persen anak-anak dan kaum muda
penyandang disabilitas memiliki akses berbagai bentuk pendidikan. Hal ini dibandingkan dengan tingkat
penerimaan anak-anak dan kaum muda non disabilitas di pendidikan dasar di
wilayah Asia dan Pasifik di atas 70 persen. Situasi ini terjadi meskipun mandat
internasional menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak dasar bagi seluruh anak
dan menyerukan diikutsertakannya seluruh anak di pendidikan dasar pada tahun
2015. Pemerintah harus menjamin penyediaan pendidikan layak yang menanggapi
kebutuhan anak-anak penyandang seluruh tipe disabilitas di dasawarsa
berikutnya. Diakui bahwa ada banyak ragam tanggapan yang pemerintah di wilayah
Asia dan Pasifik lakukan dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak penyandang
disabilitas, dan bahwa anak-anak saat ini dididik di berbagai lingkungan
pendidikan formal dan informal, serta di sekolah terpisah dan inklusif.
25.
Mengecualikan
anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas dari pendidikan mengakibatkan
mereka dikecualikan dari kesempatan pembinaan lanjutan, terutama mengurangi
akses pelatihan kejuruan, lapangan kerja, perolehan pendapatan dan pengembangan
bisnis mereka. Kegagalan mengakses pendidikan dan pelatihan menghalangi
pencapaian kemandirian ekonomi dan sosial serta meningkatkan rentannya
kemiskinan bisa menjadi siklus kemiskinan antargenerasi, yang abadi.
26.
Bayi
dan anak-anak kecil penyandang disabilitas memerlukan akses layanan intervensi
dini, termasuk deteksi dan identifikasi dini (lahir sampai empat tahun), dengan
dukungan dan pelatihan orang tua dan keluarga untuk memfasilitasi perkembangan
potensi penuh yang maksimal untuk anak-anak disabilitas mereka. Kegagalan memberikan
deteksi, identifikasi dan intervensi dini pada bayi dan anak-anak kecil
penyandang disabilitas serta dukungan orang tua dan pengasuh mereka
mengakibatkan kondisi disabilitas sekunder yang selanjutnya membatasi kecakapan
mereka untuk memanfaatkan kesempatan pendidikan. Perlakuan intervensi dini
harus menjadi upaya gabungan dari pendidikan, kesehatan dan/atau layanan
sosial.
27.
Saat
ini pendidikan bagi anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas terutama
diberikan di sekolah-sekolah khusus di pusat-pusat kota dan tersedia untuk
anak-anak dalam jumlah terbatas di beberapa negara wilayah Asia dan Pasifik.
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Pendidikan Berkebutuhan Khusus
merekomendasikan bahwa pendidikan inklusif, dengan akses pendidikan di
lingkungan lokal reguler atau sekolah komunitas, memberikan kesempatan terbaik
bagi sebagian besar anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas untuk
memperoleh pendidikan, termasuk yang di daerah pedesaan. Pengecualian peraturan
ini harus dipertimbangkan berdasarkan kasus perkasus di mana hanya pendidikan
di sekolah atau institusi khusus yang bisa melaksanakannya untuk memenuhi
kebutuhan individu anak. Diakui bahwa dalam beberapa contoh pendidikan khusus
mungkin dipertimbangkan bentuk-bentuk pendidikan paling tepat bagi beberapa
anak-anak penyandang disabilitas.[1]
Pendidikan bagi seluruh anak, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, di
sekolah-sekolah lokal atau komunitas membantu mendobrak hambatan-hambatan dan
sikap-sikap negatif serta memfasilitasi integrasi dan kohesi sosial di dalam
komunitas. Keterlibatan para orang tua dan komunitas lokal di sekolah-sekolah
komunitas semakin memperkuat proses ini.
28.
Hambatan-hambatan
utama untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak penyandang
disabilitas di seluruh konteks pendidikan meliputi kurangnya layanan-layanan
identifikasi dan intervensi dini, sikap-sikap negatif, eksklusifnya
kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik, tidak memadainya pelatihan guru,
terutama pelatihan seluruh guru reguler untuk mengajari anak-anak penyandang
beragam disabilitas, infleksibelnya prosedur-prosedur kurikulum dan penilaian,
tidak memadainya staf pendukung spesialis untuk membantu guru-guru di kelas
khusus dan reguler, kurangnya perlengkapan dan perangkat ajar yang layak, dan
kegagalan membuat modifikasi lingkungan sekolah agar sepenuhnya mudah diakses.
Hambatan-hambatan ini bisa diatasi melalui kebijakan, perencanaan dan
pelaksanaan strategi-strategi serta alokasi sumber daya dengan mengikutsertakan
anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas di seluruh prakarsa pembangunan
kesehatan dan pendidikan nasional yang tersedia bagi anak-anak dan kaum muda
non disabilitas.
29.
Pemerintah,
berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya, harus memberikan
kegiatan-kegiatan olah raga, santai dan rekreasi serta fasilitas-fasilitas bagi
penyandang disabilitas, sebagai pemenuhan hak-hak dasar mereka untuk
meningkatkan kehidupan.
2.
Tujuan
Pembangunan Milenium
30.
Di
bidang prioritas ini tujuan pembangunan milenium adalah menjamin bahwa pada
tahun 2015, anak-anak di mana saja, anak laki-laki dan perempuan sama-sama,
akan bisa menyelesaikan program penuh pendidikan dasar serta bahwa anak
laki-laki dan perempuan akan memiliki akses setara di seluruh tingkat
pendidikan.
3.
Target
Target
6.
Anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas akan menjadi bagian utuh dari
penduduk yang ditargetkan oleh tujuan pembangunan milenium yang menjamin bahwa
pada tahun 2015 seluruh anak laki-laki dan perempuan akan menyelesaikan program
penuh pendidikan dasar.
Target
7.
Sekurang-kurangnya 75 persen anak-anak dan kaum muda penyandang disabilitas di
usia sekolah akan, pada tahun 2010, bisa menyelesaikan program penuh pendidikan
dasar.
Target
8.
Pada tahun 2012, seluruh bayi dan anak-anak kecil (lahir sampai empat tahun)
akan memiliki akses dan memperoleh layanan-layanan intervensi dini berbasis
komunitas, yang menjamin kelangsungan hidup, dengan dukungan dan pelatihan
untuk keluarga mereka.
Target
9.
Pemerintah harus menjamin deteksi disabilitas di usia sedini mungkin.
4.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus memberlakukan peraturan perundang-undangan, dengan mekanisme pemaksaan, untuk
memandatkan pendidikan bagi seluruh anak-anak, termasuk anak-anak penyandang
disabilitas, untuk mencapai tujuan Kerangka Aksi Dakar dan tujuan pembangunan
milenium tentang pendidikan dasar untuk seluruh anak pada tahun 2015. Anak-anak
penyandang disabilitas harus secara nyata diikutsertakan dalam seluruh rencana
pendidikan nasional, termasuk rencana pendidikan nasional untuk semua orang dalam
Kerangka Aksi Dakar.
2.
Kementerian
Pendidikan harus merumuskan kebijakan dan perencanaan mengenai konsultasi
bersama keluarga dan organisasi penyandang disabilitas serta membina
program-program pendidikan yang memungkinkan anak-anak penyandang disabilitas
menghadiri sekolah dasar lokal mereka. Pelaksanaan kebijakan harus
mempersiapkan sistem sekolah dengan pendidikan inklusif, jika perlu, dengan
pemahaman jelas bahwa seluruh anak memiliki hak untuk menghadiri sekolah dan
bahwa merupakan tanggung jawab sekolah untuk mengakomodasi perbedaan peserta
didik.
3.
Berbagai
pilihan pendidikan harus tersedia untuk memperkenankan seleksi sekolah yang
akan memenuhi kebutuhan belajar individu dengan baik.
4.
Alokasi
anggaran umum yang layak khusus untuk pendidikan anak-anak penyandang
disabilitas harus tersedia di dalam anggaran pendidikan.
5.
Pemerintah,
berkolaborasi dengan pihak-pihak lain, harus mengumpulkan data menyeluruh
tentang anak-anak penyandang disabilitas, dari lahir sampai 16 tahun, yang digunakan untuk perencanaan intervensi dini
dan penyediaan pendidikan, sumber-sumber daya serta layanan-layanan pendukung
yang tepat, dari lahir sampai usia sekolah.
6. Target
lima tahun harus ditetapkan agar anak-anak penyandang disabilitas diterima di
pendidikan intervensi dini, pra-sekolah, dasar, menengah dan tinggi
(pasca-sekolah). Kemajuan dalam mencapai target ini harus dipantau secara ketat
agar 75 persen anak-anak penyandang disabilitas bersekolah tercapai pada tahun
2012.
7. Kementerian
kesehatan dan kementerian terkait lainnya harus mendirikan layanan-layanan
deteksi dan identifikasi dini yang layak di rumah sakit, layanan perawatan
kesehatan utama, pusat layanan perawatan kesehatan dan berbasis komunitas,
dengan sistem rujukan ke layanan intervensi dini untuk seluruh bayi dan anak
penyandang disabilitas (lahir sampai empat tahun). Pemerintah harus secara
rutin mengskrining kehamilan beresiko tinggi dan bayi baru lahir beresiko
tinggi untuk mendeteksi disabilitas awal pada saat lahir atau segera
setelahnya.
8. Kementerian Kesehatan dan Pendidikan
harus mendirikan layanan-layanan intervensi dini, berkolaborasi dengan kementerian
terkait lainnya, organisasi-organisasi swa-bantu, LSM dan lembaga-lembaga
berbasis komunitas, untuk memberikan intervensi dini, dukungan dan pelatihan
kepada seluruh bayi dan anak penyandang disabilitas (lahir sampai empat tahun)
dan keluarga mereka.
9. Pemerintah,
termasuk Kementerian Pendidikan, harus bekerja secara kemitraan dengan LSM-LSM
di tingkat nasional dan daerah dalam mengadakan kampanye kesadaran masyarakat
untuk memberitahukan kepada
keluarga-keluarga anak penyandang disabilitas, sekolah-sekolah dan
komunitas-komunitas lokal, tentang hak anak dan kaum muda penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi dalam pendidikan di seluruh tingkat, di daerah
perkotaan dan pedesaan, dan dengan penekanan khusus tentang keterlibatan kaum
pemudi penyandang disabilitas di mana terdapat ketidakseimbangan jender dalam
menghadiri sekolah.
10. Langkah-langkah berikut harus diambil,
jika perlu, oleh pemerintah di wilayah ini untuk meningkatkan mutu pendidikan
di seluruh sekolah, untuk seluruh anak, termasuk anak-anak penyandang
disabilitas, dalam konteks pendidikan khusus dan inklusif: (a) mengadakan
pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran para pejabat publik,
termasuk para administrator pendidikan dan sekolah serta para guru, memajukan
sikap-sikap positif dalam mendidik anak-anak penyandang disabilitas,
meningkatkan kepekaan terhadap hak-hak penyandang disabilitas untuk dididik di
sekolah-sekolah lokal dan dalam strategi praktik untuk mengikutsertakan
anak-anak dan kaum muda di sekolah-sekolah reguler; (b) memberikan pelatihan
pra-layanan dan layanan di lapangan secara menyeluruh kepada seluruh guru,
dengan metodologi dan teknik ajar anak-anak penyandang berbagai disabilitas,
perkembangan kurikulum yang fleksibel, strategi pengajaran dan penilaian; (c)
mendorong calon penyandang disabilitas yang pantas mengikuti profesi pengajar;
(d) membentuk prosedur-prosedur skrining anak, identifikasi dan penempatan,
strategi-strategi pengajaran yang terpusat pada anak dan bersifat individual
serta sistem penuh pendukung belajar dan mengajar, termasuk pusat sumber daya
dan guru spesialis, di daerah pedesaan dan perkotaan; (e) menjamin ketersediaan
materi ajar, perlengkapan dan perangkat yang tepat dan mudah diakses, yang
tidak dibebani dengan pembatasan hak cipta; (f) menjamin kurikulum yang
fleksibel dan mudah beradaptasi, sesuai dengan kemampuan masing-masing anak dan
berkaitan dengan konteks lokal; (g) menjamin prosedur-prosedur penilaian dan
pemantauan sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang beragam.
11. Pemerintah harus melaksanakan suatu
program progresif untuk mencapai sekolah yang bebas hambatan dan mudah diakses
serta transportasi sekolah yang mudah diakses pada tahun 2012.
12.
Pemerintah
harus mendorong program-program riset di perguruan tinggi untuk mengembangkan
metodologi-metodologi efektif lanjutan untuk mengajar anak-anak dan kaum muda
penyandang berbagai disabilitas.
13. Organisasi-organisasi dari dan untuk
penyandang disabilitas harus menempatkan advokasi pendidikan bagi anak-anak
penyandang disabilitas sebagai suatu perihal berprioritas tinggi dalam agenda
mereka.
14. Kooperasi regional harus diperkuat untuk
memfasilitasi pemberian pengalaman-pengalaman dan praktik-praktik yang baik
serta mendukung pembinaan prakarsa pendidikan inklusif.
D.
Pelatihan dan
lapangan kerja, termasuk wirausaha
1.
Isu penting
31.
Tantangan
mengintegrasikan dan mengikutsertakan para penyandang disabilitas dalam
pengarusutamaan ekonomi belum terpenuhi. Meskipun standar-standar dan
pelaksanaan internasional peraturan perundang-undangan, kebijakan-kebijakan dan
praktik-praktik pelatihan dan lapangan kerja di beberapa negara patut dicontoh,
para penyandang disabilitas, dan khususnya kaum perempuan, kaum muda dan yang
di daerah pedesaan, secara tidak proporsional masih kurang terdidik, tak
terlatih, pengangguran, setengah pengangguran dan miskin.
32.
Para
penyandang disabilitas memiliki hak atas pekerjaan yang layak. Pekerjaan yang
layak merupakan pekerjaan produktif dalam kondisi bebas, setara, aman dan
bermartabat. Para penyandang disabilitas memiliki perbedaan dan kemampuan yang
unik serta mereka harus memiliki hak untuk memilih apa yang mereka ingin
lakukan berdasarkan kemampuan mereka, bukan disabilitas mereka. Mereka
memerlukan kesempatan pendidikan, pelatihan kejuruan, lapangan kerja dan
pengembangan bisnis sama yang tersedia untuk semua. Beberapa mungkin memerlukan
layanan-layanan dukungan khusus, alat bantu, atau modifikasi pekerjaan, tapi
ini merupakan investasi kecil dibandingkan dengan ketahanan produktivitas dan
kontribusi. Selain itu, dikecualikan terus-menerus sering menyebabkan hambatan
psikososial, yang harus diatasi jika penyandang disabilitas berhasil dalam
situasi pelatihan dan kerja.
33.
Isu-isu
pelatihan kejuruan dan lapangan kerja harus dipertimbangkan di dalam konteks
partisipasi penuh para penyandang disabilitas di kehidupan komunitas dan di
dalam konteks makro tentang perubahan demografi dan tempat kerja.
Tanggapan-tanggapan terhadap isu-isu seperti globalisasi, keamanan kerja,
pengentasan kemiskinan dan pengangguran di kalangan pekerja muda dan tua juga
harus mempertimbangkan bagaimana isu-isu dan tanggapan-tanggapan ini
mempengaruhi para penyandang disabilitas.
34.
Pada
umumnya, terdapat kekurangan staf terlatih dan cakap yang bekerja dengan para
penyandang disabilitas, khususnya yang berkaitan dengan pelatihan dan lapangan
kerja. Isu-isu kecakapan lainnya yang terkait dengan pembinaan, pelaksanaan,
evaluasi dan penyebarluasan kebijakan-kebijakan dan program-program yang
efektif di tingkat nasional dan regional harus terus diatasi. Para penyandang
disabilitas harus secara berkala dan aktif terlibat dalam prakarsa terkait
pelatihan dan lapangan kerja, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai
pendukung, perancang dan penyedia layanan.
2.
Target
Target 10.
Sekurang-kurangnya 30 persen penanda tangan (negara-negara anggota) akan meratifikasi
Konvensi Rehabilitasi Kejuruan dan Lapangan Kerja Organisasi Buruh
Internasional (Penyandang Disabilitas) (No. 159), 1983, pada tahun 2012.
Target 11. Pada tahun
2012, sekurang-kurangnya 30 persen dari seluruh program pelatihan kejuruan di negara-negara
penanda tangan akan mengikutsertakan para penyandang disabilitas dan memberikan
dukungan yang tepat serta penempatan kerja atau layanan pengembangan bisnis
untuk mereka.
Target 12. Pada tahun
2010, data terpercaya yang mengukur tingkat lapangan kerja dan wirausaha
penyandang disabilitas akan ada di seluruh negara.
3.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus mengkaji, meratifikasi dan melaksanakan Konvensi Rehabilitasi Kejuruan
dan Lapangan Kerja (Penyandang Disabilitas) (No. 159), 1983.
2.
Pemerintah
harus memiliki kebijakan-kebijakan, sebuah rencana tertulis, sebuah badan
koordinasi dan beberapa mekanisme untuk mengevaluasi keberhasilan keikutsertaan
para penyandang disabilitas dalam program pelatihan, lapangan kerja, wirausaha
dan pengentasan kemiskinan. Kegiatan-kegiatan harus ini meliputi konsultasi
dengan organisasi dari dan untuk penyandang disabilitas serta organisasi
pengusaha dan pekerja.
3.
Pemerintah
harus membina dan melaksanakan insentif kerja serta strategi-strategi
memindahkan para penyandang disabilitas ke dalam lapangan kerja terbuka dan
mengakui bahwa pemerintah, sebagai pengusaha utama di sebagian besar negara,
harus menjadi contoh pengusaha yang berkenaan dengan perekrutan, retensi dan
kemajuan para pekerja penyandang disabilitas.
4.
Pemerintah
harus mengkaji dan/atau memberlakukan peraturan perundang-undangan anti
diskriminasi, jika perlu, yang melindungi hak-hak para pekerja penyandang
disabilitas atas perlakuan dan kesempatan yang setara di tempat kerja dan di
bursa. Pemerintah harus mendorong dan memajukan lapangan kerja bagi para
penyandang disabilitas di sektor swasta dan harus memberikan mekanisme
perlindungan hak-hak bagi penyandang disabilitas yang terkena pemutusan
hubungan kerja dan tindakan perampingan.
5.
Pemerintah,
organisasi-organisasi internasional, LSM-LSM, lembaga-lembaga pelatihan dan
mitra-mitra sosial lainnya harus berkolaborasi untuk meningkatkan ketersediaan
dan penataran kecakapan staf-staf penyedia layanan pelatihan, lapangan kerja
dan rehabilitasi kejuruan untuk menjamin bahwa staf-staf cakap dan terlatih
tersedia. Para penyandang disabilitas harus secara aktif direkrut dan
diikutsertakan dalam program-program pelatihan tersebut dan direkrut sebagai
staf.
6.
Pemerintah,
dengan bantuan LSM-LSM, harus menjamin bahwa para penyandang disabilitas
memiliki layanan pendukung yang mereka perlukan untuk berpartisipasi dalam
pengarusutamaan pelatihan kejuruan dan lapangan kerja serta mengalokasikan dana
tambahan yang diperlukan untuk menghilangkan hambatan-hambatan inklusi, dengan
pengakuan penuh bahwa label harga terkait pengecualian ini lebih tinggi.
7.
Pemerintah,
LSM-LSM dan organisasi-organisasi penyandang disabilitas harus berkolaborasi
lebih banyak dengan para pengusaha, serikat-serikat pekerja dan mitra-mitra
sosial lainnya untuk membina kemitraan, kebijakan, pemahaman bersama serta
layanan pelatihan kejuruan dan lapangan kerja yang lebih efektif yang
bermanfaat bagi para penyandang disabilitas yang bekerja di lingkungan formal,
informal atau wirausaha.
8.
Pemerintah,
berkolaborasi dengan organisasi-organisasi pengusaha, organisasi-organisasi
pekerja, organisasi-organisasi dari dan untuk penyandang disabilitas dan
mitra-mitra sosial lainnya harus meninjau kebijakan-kebijakan, praktik-praktik dan
hasil-hasil terkini terkait pelatihan kejuruan para penyandang disabilitas
untuk mengidentifikasi kesenjangan dan kebutuhan serta mengembangkan rencana
untuk memenuhi kebutuhan ini dalam meringankan perubahan tempat kerja terkait
globalisasi, TIK serta kebutuhan-kebutuhan para penyandang disabilitas yang
tinggal di komunitas terpencil dan pedesaan.
9.
Dana
harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang menyandang
disabilitas paling ekstensif untuk memberikan layanan-layanan pelatihan dan lapangan
kerja dalam lingkungan bermartabat dan inklusif semaksimal mungkin, dengan
menggunakan strategi-strategi seperti lokakarya-lokakarya taransisi dan
produksi serta lapangan kerja berbasis dan didukung komunitas.
10.
Diakuinya
kekurangan kesempatan kerja formal di banyak negara, pemerintah,
lembaga-lembaga internasional, para penderma, LSM-LSM dan pihak-pihak lainnya
di masyarakat sipil harus menjamin bahwa para penyandang disabilitas serta
organisasi-organisasi dari dan untuk penyandang disabilitas memiliki akses yang
adil serta diikutsertakan dalam program-program terkait pengembangan bisnis, kewirausahaan
dan penyaluran kredit.
11.
Organisasi-organisasi
regional, termasuk organisasi regional penyandang disabilitas, berkolaborasi
dengan pemerintah nasional dan lembaga-lembaga internasional, harus
meningkatkan mekanisme pengumpulan dan penyebarluasan informasi-informasi
terkait praktik-praktik yang baik di seluruh aspek pelatihan dan lapangan
kerja, khususnya yang mencerminkan kebutuhan regional dan budaya.
E.
Akses lingkungan
terbangun dan transportasi umum
1.
Isu penting
35.
Tidak
mudah diaksesnya lingkungan terbangun, termasuk sistem transportasi umum, masih
menjadi hambatan utama yang menghalangi para penyandang disabilitas
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi di
negara-negara wilayah ini. Beberapa pemerintah mengakui hak dasar penyandang
disabilitas atas akses lingkungan terbangun yang setara. Menciptakan lingkungan
terbangun, jalan dan sistem transportasi yang tidak mudah diakses
mendiskriminasikan para penyandang disabilitas dan para anggota masyarakat
lainnya. Konsep desain universal/inklusif telah muncul sebagai hasil perjuangan
para penyandang disabilitas atas lingkungan fisik yang mudah diakses.
Pendekatan desain universal/inklusif terbukti bermanfaat tidak hanya untuk para
penyandang disabilitas, tetapi juga banyak sektor lain di masyarakat, seperti
lansia, perempuan hamil dan orang tua yang memiliki anak kecil.
36.
Sebagian
besar penduduk lansia dunia tinggal di wilayah Asia dan Pasifik. Jumlah ini
diperkirakan meningkat secara tajam mengingat tren demografi terkini. Proporsi
perempuan lansia juga terus tumbuh mengingat kaum perempuan hidup lebih lama
daripada kaum laki-laki di hampir seluruh negara, baik yang kaya maupun yang
miskin. Berhubung banyak orang – kaum laki-laki dan kaum perempuan – bertahan
hidup sampai usia tua, jumlah lansia penyandang disabilitas meningkat. Selain
itu, terserangnya disabilitas fisik di usia tua hanya akan memperparah stigma
sosial yang dihadapi para lansia karena mereka sering dianggap sebagai beban
dan tanggung jawab. Seluruh penyandang disabilitas, bagaimanapun, baik muda
atau tua, memiliki isu-isu sama yang mempengaruhi kesetaraan mereka. Hal-hal
ini meliputi hambatan-hambatan di lingkungan kita, seperti kurangnya akses
lingkungan terbangun dan transportasi umum.
37.
Pendekatan
desain universal/inklusif menyediakan lingkungan yang lebih aman kepada semua
orang dengan mengurangi tingkat kecelakaan. Hambatan-hambatan fisik diketahui
menghalangi partisipasi penuh dan mengurangi hasil ekonomi dan sosial para
penyandang disabilitas. Investasi untuk menghilangkan dan mencegah
hambatan-hambatan arsitektur dan desain semakin dibenarkan dengan alasan
ekonomi, terutama di bidang partisipasi sosial dan ekonomi yang paling penting
(misalnya, transportasi, perumahan, pendidikan, lapangan kerja, perawatan
kesehatan, pemerintahan, wacana umum, kegiatan budaya dan agama, santai dan
rekreasi). Penting untuk dicatat bahwa tidak hanya fasilitas tetapi juga
layanan harus mudah diakses secara keseluruhan. Dalam hubungan ini berhadapan
dengan para penyandang disabilitas harus menjadi bagian penting dari kurikulum
pelatihan staf.
2.
Target
Target 13. Pemerintah harus menetapkan dan
menegakkan standar-standar aksesibilitas untuk merencanakan fasilitas umum,
infrastruktur dan transportasi, termasuk dalam konteks pedesaan/pertanian.
Target 14. Seluruh sistem transportasi umum yang baru dan yang telah direnovasi,
meliputi sistem transportasi darat, air, kereta api massal yang ringan dan
berat, serta air, harus dibuat mudah diakses sepenuhnya oleh para penyandang
disabilitas dan lansia; sistem transportasi umum darat, air dan udara yang
sudah ada (kendaraan, pemberhentian dan terminal) harus dibuat mudah diakses
dan digunakan sepraktis mungkin.
Target 15. Seluruh lembaga pembiayaan internasional dan regional untuk pembangunan
infrastruktur harus memuat konsep desain universal dan inklusif dalam kriteria
pemberian pinjaman/hibah mereka.
3.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah,
berkolaborasi dengan organisasi-organisasi penyandang disabilitas,
kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti perhimpunan arsitektur dan teknik
profesional dan pihak-pihak lainnya di sektor korporasi, harus mendukung
pembentukan mekanisme nasional dan/atau regional untuk menukar informasi
sebagai sarana terwujudnya lingkungan yang mudah diakses, dengan
fasilitas-fasilitas tampilan, perpustakaan dan riset dan pusat informasi serta
harus berinteraksi dengan instansi-instansi riset dan/atau pendidikan
arsitektur dan teknik.
2.
Menjamin
program-program pendidikan dan akademi profesional arsitektur, perencanaan dan
lanskap serta bangunan dan teknik memuat prinsip desain inklusif; program
“mengajar guru” agar pengajaran yang efektif tentang desain praktis yang mudah
diakses diadakan di seluruh sekolah desain di wilayah ini, termasuk
lokakarya-lokakarya pariwisata yang melibatkan partisipasi aktif para
penyandang disabilitas; serta mendukung keberlanjutan praktik-praktik terbaik
program pengembangan profesi pendidikan dalam teknik-teknik desain inklusif
bagi para praktisi berpengalaman, termasuk para profesional yang bekerja secara
erat dengan para pengguna akhir seperti pegawai rehabilitasi berbasis
komunitas.
3.
Mendorong
teknik-teknik inovatif, seperti melalui kompetisi desain, penghargaan
arsitektur dan penghargaan lainnya serta berbagai bentuk dukungan lainnya,
untuk mengidentifikasi aplikasi-aplikasi tertentu yang meningkatkan
aksesibilitas dan mengaplikasikan pengetahuan dan materi-materi lokal. Materi-materi
lokal untuk menciptakan lingkungan terbangun yang mudah diakses, misalnya, blok
taktil dan ubin lantai anti licin, harus dikembangkan dan disediakan. Jejaring
untuk menyebarluaskan teknik-teknik inovatif harus dikembangkan.
4.
Mendorong
pembentukan mekanisme penilaian tentang cara kode-kode dan standar-standar
dikembangkan, diaplikasikan dan ditegakkan serta cara mereka meningkatkan
aksesibilitas di berbagai negara. Umpan balik dan studi kasus tentang area
(bukan tentang gedung baru atau yang
telah renovasi) itu penting, melalui publisitas dan penyebarluasan penemuan,
serta menunjukkan cara perbaikan bisa dilakukan.
5.
Menjamin
bahwa aksesibilitas kebutuhan para penyandang disabilitas diikutsertakan dalam
seluruh program pembangunan pedesaan/pertanian, termasuk tapi tidak terbatas
pada akses dan penggunaan fasilitas sanitasi dan pasokan air melalui suatu
proses konsultasi yang mengikutsertakan kelompok-kelompok pengguna disabilitas.
6.
Menciptakan
petugas atau pos akses yang meliputi fungsi petugas akses di tingkat lokal,
provinsi dan nasional yang fungsinya termasuk memberikan kepada para
arsitek/desainer/pengembang saran teknis dan informasi tentang kode-kode dan
aplikasi-aplikasi akses desain inklusif, serta teknologi yang tepat di
lingkungan alami dan terbangun dalam konteks pedesaan, pinggiran perkotaan dan
perkotaan.
7.
Organisasi-organisasi
penyandang disabilitas harus melaksanakan langkah-langkah peningkatan
kepercayaan diri dan advokasi untuk menyajikan kebutuhan mereka secara kolektif
dan efektif di lingkungan terbangun dalam satu suara yang mewakili kebutuhan
berbagai kelompok disabilitas, termasuk tidak hanya penyandang disabilitas
fisik, penglihatan dan pendengaran, tetapi juga penyandang disabilitas
intelektual.
F.
Akses informasi dan komunikasi, termasuk informasi,
komunikasi dan teknologi bantu
1.
Isu penting
38.
TIK
telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan terus memacu proses globalisasi.
Namun, manfaat perkembangan TIK telah menyebar tidak merata antara kaum kaya dan
kaum miskin serta antara negara maju dan negara berkembang.
39.
Pengaruh
TIK terhadap para penyandang disabilitas baik positif maupun negatif. Banyak
penyandang disabilitas mendapatkan manfaat dari perkembangan TIK, seperti
teknologi-teknologi yang membuka kesempatan lapangan kerja di seluruh tingkat
keahlian dan kesempatan hidup secara mandiri di komunitasnya. Para penyandang
tunarungu-tunanetra, melalui pelatihan yang tepat, menggunakan alat pembaca
layar huruf Braille modern dan para penyandang celebral palsy parah mengambil
bagian dalam pertukaran informasi melalui internet. Namun, sebagian besar
manfaatnya masih terbatas pada penyandang disabilitas di negara-negara yang
lebih maju. Perkembangan TIK yang pesat telah menimbulkan masalah-masalah tak
terduga bagi penyandang disabilitas tertentu. Contohnya, proses pendaftaran,
transaksi perbankan atau belanja daring tidak bisa diakses oleh penyandang
disabilitas kognitif/intelektual, fisik atau penglihatan dan/atau pendengaran.
40.
Sebagian
besar penyandang disabilitas di negara-negara berkembang di wilayah Asia dan
Pasifik miskin dan dikecualikan dari penggunaan TIK, meskipun terdapat manfaat
potensial yang besar dalam penggunaan TIK di daerah pedesaan di negara-negara
berkembang.
41.
Deklarasi
Tokyo tentang Renaisans Asia-Pasifik melalui TIK di abad kedua puluh satu,
ditetapkan oleh KTT Asia-Pasifik tentang Masyarakat Informasi, diselenggarakan
oleh Asia-Pacific Telecommunity dan diadakan di Tokyo pada bulan November 2000,
menyatakan bahwa rakyat di wilayah Asia dan Pasifik harus memiliki akses
internet pada tahun 2005 semaksimal mungkin. Juga mengakui disabilitas sebagai
salah satu penyebab kesenjangan digital, di samping pendapatan, usia dan
jender. KTT Dunia tentang Masyarakat Informasi akan diadakan di Jenewa pada
tahun 2003 dan di Tunisia pada tahun 2005. Di KTT ini, isu-isu terkait
penyandang disabilitas dan kelompok-kelompok rentan lainnya harus
dipertimbangkan.
42.
Dalam
masyarakat informasi, akses informasi dan komunikasi merupakan hak dasar
manusia. Pemilik hak cipta harus memegang tanggung jawab untuk menjamin bahwa
konten mudah diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Setiap
teknologi anti pembajakan atau manajemen hak digital tidak boleh menghalangi
penyandang disabilitas dari akses informasi dan komunikasi.[2]
Teknologi informasi dan komunikasi harus mendobrak hambatan-hambatan sistem
komunikasi dan penyiaran. Negara-negara berkembang membutuhkan dukungan yang
lebih besar di bidang TIK.
43.
Di
banyak negara di Asia dan Pasifik, bahasa isyarat, huruf Braille, Braille jari
dan bahasa isyarat taktil belum distandardisasikan. Bentuk-bentuk komunikasi
ini dan yang lainnya perlu dikembangkan dan disebarluaskan. Tanpa akses
bentuk-bentuk komunikasi seperti ini, penyandang gangguan penglihatan dan/atau
pendengaran tidak bisa mendapatkan manfaat dari perkembangan TIK. Lebih penting
lagi, mereka mungkin kehilangan hak dasar manusia atas bahasa dan komunikasi
dalam kehidupan sehari-hari mereka.
2.
Target
Target 16. Pada tahun 2005, para penyandang
disabilitas harus memiliki sekurang-kurangnya tingkat akses pada internet dan
layanan-layanan terkait yang sama seperti semua warga negara di negara wilayah
ini.
Target 17. Organisasi-organisasi internasional
(misalnya, Uni Telekomunikasi Internasional, Organisasi Internasional untuk
Standardisasi, Organisasi perdagangan Dunia, Konsorsium Waring Wera Wanua, Motion Picture Engineering Group) yang
bertanggung jawab atas standar TIK internasional harus, pada tahun 2004,
memadukan standar-standar aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas dengan
standar-standar TIK internasional mereka.
Target 18. Pemerintah harus menetapkan, pada
tahun 2005, pedoman-pedoman aksesibilitas TIK untuk para penyandang disabilitas
dalam kebijakan-kebijakan TIK nasional mereka dan secara khusus
mengikutsertakan para penyandang disabilitas sebagai kelompok penerima target
melalui langkah-langkah yang tepat.
Target 19. Pemerintah harus mengembangkan dan mengkoordinasi
bahasa isyarat, Braille jari, bahasa isyarat taktil yang terstardardisasi, di
setiap negara serta menyebarluaskan dan mengajarkan hasilnya melalui seluruh
sarana, misalnya publikasi, CD-ROM, dll.
Target 20. Pemerintah harus membentuk suatu
sistem di setiap negara untuk melatih dan mengutus penerjemah bahasa isyarat,
penyunting huruf Braille, penerjemah Braille jari dan human reader serta mendorong lapangan kerja mereka.
3.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus menyebarluaskan dan menegakkan hukum-hukum, kebijakan-kebijakan dan
program-program untuk memantau dan melindungi hak para penyandang disabilitas
atas informasi dan komunikasi; Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan
memberikan pengecualian hak cipta kepada organisasi yang membuat konten
informasi mudah diakses penyandang disabilitas, dengan syarat-syarat tertentu.
Pemerintah,
berkolaborasi dengan lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat sipil
terkait lainnya, harus:
2.
Mendirikan
suatu unit aksesibilitas TIK di dalam lembaga kementerian/regulasi, dan
mendorong perusahaan-perusahaan swasta membentuk suatu unit yang setara untuk
mengkoordinasi kegiatan di dalam dan di luar lembaga/perusahaan.
3.
Mengadakan
dan mendorong pelatihan peningkatan kesadaran untuk para pembuat kebijakan TIK,
lembaga-lembaga regulasi, perwakilan serta pegawai teknis perusahaan TIK swasta
untuk meningkatkan pemahaman isu-isu disabilitas, termasuk kebutuhan-kebutuhan
aksesibilitas TIK para penyandang disabilitas, kemampuan dan aspirasi mereka untuk
menjadi anggota masyarakat yang produktif.
4.
Mendukung
pelatihan melek komputer dan peningkatan kecakapan untuk para penyandang
disabilitas, melalui pelatihan tentang cara berkomunikasi dengan para
pengembang perangkat lunak dan perangkat keras serta organisasi-organisasi
standar untuk mengatasi kebutuhan mereka.
5.
Memberikan
berbagai bentuk insentif, termasuk pembebasan bea atas perangkat TIK yang
digunakan oleh penyandang disabilitas serta mensubsidi biaya perlengkapan
teknologi bantu untuk menjamin keterjangkauannya bagi para penyandang
disabilitas yang membutuhkan.
6.
Mendukung
pembentukan dan penguatan jejaring, termasuk koperasi, dengan konsumen
disabilitas di tingkat nasional, regional dan internasional dalam rangka
meningkatkan daya tawar dan beli produk-produk dan layanan-layanan TIK, yang
pada umumnya mahal untuk dibeli sendiri.
7.
Mengambil
seluruh langkah yang diperlukan untuk menjamin, dalam membina langkah-langkah
dan standar-standar terkait aksesibilitas TIK, organisasi-organisasi penyandang
disabilitas terlibat di seluruh tahapan proses.
8.
Menetapkan
dan mendukung perkembangan TIK berdasarkan standar-standar internasional yang
universal/terbuka/non-eksklusif untuk menjamin komitmen jangka panjang
aksesibilitas TIK bagi para penyandang disabilitas di seluruh sektor, dengan
perhatian khusus pada standar-standar yang memiliki komponen-komponen dan
fitur-fitur aksesibilitas dengan catatan terbukti efektif. Contoh hal ini adalah Prakarsa Aksesibilitas
Internet di konsorsium Waring Wera Wanua dan Konsorsium Penyediaan Akses Sistem Informasi
Digital.
9.
Mewajibkan
aplikasi dan konten berbahasa lokal menggunakan karakter pengkodean dan
permodelan berstandar nasional/internasional, seperti Unified Modeling Language, dan mendorong dialog tentang persyaratan
aksesibilitas karakter pengkodean dan permodelan.
10.
Mendukung
partisipasi organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mewakili dan
mempertimbangkan persyaratan-persyaratan penyandang disabilitas dalam diskusi
tentang standar-standar regional dan internasional yang bertujuan meningkatkan
keselarasan standar-standar internasional yang mendukung
persyaratan-persyaratan penyandang disabilitas. Jika standar-standar
internasional tersebut kurang, pemerintah harus mendukung prakarsa alternatif
untuk mengatasi kebutuhan mereka, dengan memperhatikan kompatibilitas dan
interoperabilitas standar-standar internasional.
11.
Lembaga-lembaga
penderma bilateral dan multilateral serta lembaga-lembaga pembiayaan
internasional harus menetapkan kriteria pemberian berdasarkan tanggung jawab
sosial lembaga-lembaga/organisasi-organisasi penerima, termasuk kewajiban
mereka untuk memajukan aksesibilitas TIK bagi para penyandang disabilitas.
12.
Mendukung
dan membentuk suatu kelompok kerja regional untuk mengembangkan standar-standar
TIK, telekomunikasi dan penyiaran untuk menjamin bahwa teknologi yang baru dan
yang telah ada didasarkan pada standar-standar inklusif disabilitas dan
dikembangkan dengan konsep desain universal. Selain TIK, langkah-langkah untuk
menjamin komunikasi para penyandang disabilitas, termasuk pengembangan Bahasa
Isyarat dan Huruf Braille terstandardisasi, perlu dibentuk.
G.
Pengentasan kemiskinan melalui peningkatan
kecakapan, jaminan sosial dan program penghidupan berkelanjutan
1.
Isu penting
44.
Di
wilayah Asia dan Pasifik, diperkirakan bahwa dari 400 juta penyandang
disabilitas, lebih dari 40 persennya hidup dalam kemiskinan. Para penyandang
disabilitas ini telah dihalangi dari akses hak-hak yang tersedia untuk anggota
masyarakat lainnya, meliputi kesehatan, pangan, pendidikan, lapangan kerja dan
layanan-layanan sosial dasar lainnya, serta dari partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan di komunitas.
45.
Kemiskinan
merupakan penyebab dan akibat dari disabilitas. Kemiskinan dan disabilitas
memperkuat satu sama lain, berkontribusi pada peningkatan kerentanan dan
pengucilan. Gizi buruk, kondisi pekerjaan dan kehidupan yang berbahaya, akses
program vaksinasi serta perawatan
kesehatan dan persalinan yang terbatas, kurangnya higienis, sanitasi buruk,
kurangnya informasi tentang penyebab gangguan, perang dan konflik serta bencana
alam merupakan faktor-faktor tanggung jawab disabilitas. Beberapa penyebab ini
dapat dicegah. Disabilitas pada gilirannya memperparah kemiskinan, dengan
mengurangi akses sarana-sarana penghidupan, meningkatkan pengucilan dari
tekanan pasar dan ekonomi. Hal ini tidak hanya mempengaruhi individu, tapi juga
sering seluruh keluarga.
46.
Meningkatnya
jumlah dan proporsi lansia yang hidup sampai usia lanjut berarti bahwa jumlah penyandang
disabilitas akan meningkat dan hal ini mungkin menjadi faktor yang
berkontribusi pada kemiskinan warga. Isu-isu kepentingan lansia yang
berhubungan dengan disabilitas berkaitan dengan penuaan serta penyediaan
perawatan kesehatan dan jaminan sosial yang layak. Dalam perkumpulan lansia,
terutama, isu-isu ini akan memiliki dampak besar pada kesehatan nasional dan
sistem perawatan jangka panjang serta pada skema jaminan sosial apakah sudah
layak seperti yang dibentuk sekarang ini.
47.
Faktor-faktor
utama yang diperhitungkan dalam tingkat layanan sosial yang rendah bagi para
penyandang disabilitas yang miskin adalah faktor berbasis rumah tangga dan
berbasis komunitas. Namun, ada sedikit pengetahuan tentang faktor-faktor yang
menentukan tingkat kesejahteraan para penyandang disabilitas yang rendah di
wilayah negara-negara berkembang. Data survey sosial dan ekonomi di tingkat
rumah tangga dan komunitas, yang diperlukan untuk menganalisa faktor-faktor
ini, masih kurang. Hal ini penting untuk mengkaji sejauh mana pembangunan
infrastruktur tingkat komunitas mempengaruhi penyediaan layanan-layanan bagi
para penyandang disabilitas yang miskin.
48.
Suatu
pendekatan terpadu diperlukan, yang menghubungkan pencegahan dan rehabilitasi
dengan pemberdayaan strategi serta perubahan sikap. Pentingnya disabilitas
harus dinilai sebagai sebuah isu pembangunan kunci dan maknanya harus diakui
dalam kaitannya dengan kemiskinan, hak asasi manusia dan pencapaian target
pembangunan yang disepakati secara internasional. Memberantas kemiskinan dunia
tidak mungkin tercapai kecuali hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan para penyandang
disabilitas diperhitungkan.
49.
Salah
satu tujuan pembangunan milenium memiliki target khusus penanggulangan
kemiskinan. Hal ini merupakan pendekatan positif. Namun, ada bahaya bahwa
strategi ini dapat mengabaikan pentingnya kelompok penyandang disabilitas yang
rentan karena upaya-upaya mencapai target hanya berfokus pada mereka yang
keluar dengan sangat mudah dari kemiskinan dan bukan mereka yang sangat miskin,
yang mewakili kalangan penyandang disabilitas secara tidak proporsional. Akar
penyebab kemiskinan penyandang disabilitas jauh lebih rumit dan beragam. Oleh
karena itu, upaya sungguh-sungguh harus dilaksanakan dengan mengikutsertakan
para penyandang disabilitas dalam kelompok-kelompok target yang memprioritaskan
strategi pengentasan kemiskinan untuk mencapai tujuan pembangunan milenium.
2.
Tujuan
pembangunan milenium
50.
Tujuan
pembangunan milenium yang terkait dengan bidang prioritas ini adalah mengurangi
separuh, pada tahun 2015, proporsi penduduk dunia yang pendapatannya kurang
dari satu dollar sehari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan, serta
pada waktu yang sama, mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak bisa
menjangkau atau mampu membeli air minum yang bersih.
3.
Target
Target 21. Pemerintah
harus mengurangi separuh, antara tahun 1990 dan 2015, proporsi penyandang disabilitas
yang pendapatan/konsumsinya kurang dari satu dollar sehari.
4.
Aksi yang
diperlukan untuk mencapai target
1.
Pemerintah
harus segera mengikutsertakan, sebagai sebuah kelompok target utama, para
penyandang disabilitas dalam program-program pengentasan kemiskinan nasional
mereka dalam rangka mencapai target tujuan pembangunan milenium tentang
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang berat.
2.
Pemerintah
harus mengalokasikan dana pembangunan pedesaan yang layak dan pengentasan
kemiskinan melalui layanan-layanan yang bermanfaat bagi para penyandang
disabilitas.
3.
Pemerintah
harus mengikutsertakan dimensi-dimensi disabilitas serta pemetaan kemiskinan
dan disabilitas ke dalam pengumpulan dan analisis data dasar dari tujuan
pembangunan milenium tentang miskinnya pendapatan, pendidikan, kesehatan, dll.,
supaya data dasar para penyandang disabilitas yang miskin terjamin.
4.
Pemerintah
harus mengarusutamakan isu-isu disabilitas ke dalam strategi-strategi
pembangunan pro kaum miskin melalui:
(a)
Peningkatan
alokasi sumber daya untuk para penyandang disabilitas yang miskin dan
pengenalan anggaran sosial disabilitas.
(b)
Evaluasi
partisipatif kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang telah ada melalui
metodologi-metodologi yang lebih efektif, termasuk menggunakan metode laporan
penilaian masyarakat.
(c)
Pembentukan
skema perlindungan sosial yang sesuai, seperti subsidi sekolah dan/atau
asuransi kesehatan untuk keluarga-keluarga miskin yang memiliki anak-anak
penyandang disabilitas dan lansia penyandang disabilitas fisik dan mental.
(d)
Kebijakan-kebijakan
pembangunan menyeluruh yang menargetkan para penyandang disabilitas dan
keluarga-keluarga yang memiliki penyandang disabilitas.
5.
Pemerintah
harus mendokumentasikan dan menyebarluaskan praktik-praktik lapangan yang baik
dalam mengentaskan kemiskinan para penyandang disabilitas sehingga dapat
digunakan sebagai contoh peningkatan kecakapan oleh pemerintah sektor
kementerian, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta.
6.
Pemerintah
harus mendorong pembentukan aliansi strategis di kalangan dan mengadvokasi
pentingnya isu-isu disabilitas kepada para pembuat kebijakan,
organisasi-organisasi penyandang disabilitas dan organisasi-organisasi
pengembangan komunitas, dengan bantuan dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa,
agar isu-isu disabilitas dipadukan ke dalam kebijakan-kebijakan pembangunan.
7.
Tindakan-tindakan
pencegahan ditujukan untuk meminimalkan penyebab-penyebab disabilitas dan
penyediaan layanan-layanan rehabilitasi harus menjadi bagian utuh dari bisnis normal
pemerintah, sektor swasta dan LSM-LSM. Program-program yang ditujukan untuk
pencegahan dan rehabilitasi disabilitas harus diikutsertakan dalam
rencana-rencana, kebijakan-kebijakan dan anggaran-anggaran nasional.
8.
Pemerintah
harus mendesain dan menetapkan suatu strategi nasional tentang pencegahan
penyebab-penyebab disabilitas bagi para penyandang disabilitas.
9.
Strategi
nasional harus mengakui peran seluruh tiga pendekatan, pendekatan lembaga,
pendekatan penyuluhan dan pendekatan berbasis komunitas, dalam merehabilitasi
para penyandang disabilitas. Pendekatan berbasis komunitas, terutama, harus
ditekankan untuk mencapai cakupan dan jangkauan layanan-layanan yang maksimal
serta memaksimalkan keefektifan biayanya.
10.
Struktur
penyelenggaraan layanan kesehatan, baik pemerintah maupun non pemerintah, harus
mengikutsertakan layanan-layanan rehabilitasi seperti fisioterapi dan terapi
okupasi serta penyediaan layanan-layanan peralatan pendukung yang esensial.
Sedikit diketahui tentang langkah-langkah khusus jender dan pendekatan
perawatan kesehatan mental dan disabilitas fisik di kalangan lansia perempuan
dan lelaki. Penyediaan layanan penyakit mental bagi lansia membutuhkan
perhatian. Penekanan khusus harus dilakukan untuk menjamin layanan-layanan
tersebut tersedia di tingkat lokal, termasuk di daerah pedesaan dan perkotaan
yang miskin.
11.
Pemerintah
harus mendukung formasi kelompok-kelompok swa-bantu penyandang disabilitas di
daerah pedesaan dan perkotaan yang miskin serta daerah federasi mereka, agar
kecakapan mereka untuk saling medukung, mengadvokasi dan berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan berkembang.
V.
STRATEGI UNTUK
MENCAPAI TARGET KERANGKA AKSI MILENIUM
BIWAKO
51.
Strategi-strategi
berikut ini harus didukung pemerintah, berkolaborasi dengan organisasi-organisasi
masyarakat sipil, untuk mencapai target yang dikutip dalam bab IV.
A.
Rencana aksi
nasional disabilitas (lima tahun)
52.
Rencana
aksi nasional terkait disabilitas sangat penting untuk melaksanakan Kerangka
Aksi Milenium Biwako, 2003-2012, di tingkat nasional dan subnasional.
Strategi 1. Pemerintah harus membina,
berkolaborasi dengan organisasi-organisasi penyandang disabilitas dan
organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya, dan menetapkan pada tahun 2004,
suatu rencana aksi nasional lima tahun yang menyeluruh untuk melaksanakan
target-target dan strategis-strategis Kerangka Aksi Milenium Biwako, 2003-2012.
Rencana nasional ini harus memuat kebijakan-kebijakan dan program-program
inklusif untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam rencana-rencana
dan program-program pengarusutamaan pembangunan.
B.
Pemajuan
pendekatan berbasis hak atas isu-isu disabilitas
53.
Pendekatan
berbasis hak harus dilakukan untuk memajukan isu-isu disabilitas. Hak sipil,
budaya, ekonomi, politik dan sosial penyandang disabilitas harus diatasi dan
dilindungi. Isu-isu disabilitas harus diintegrasikan ke dalam rencana-rencana
nasional terkait pembangunan dan ke
dalam agenda hak asasi manusia. Secara global, lebih dari 40 negara telah
menetapkan hukum non diskriminasi terhadap disabilitas, namun hanya 9 negara di
wilayah Asia dan Pasifik yang telah melakukannya.
Strategi 2. Pemerintah harus mengkaji penetapan
hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan serta meninjau hukum-hukum yang telah
berlaku untuk melindungi hak-hak para penyandang disabilitas, khususnya untuk
menjamin non diskriminasi. Hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan ini harus memuat
suatu definisi yang jelas dan spesifik tentang apa yang dinamakan diskriminasi
terhadap penyandang disabilitas. Hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan tersebut
harus sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia dan disabilitas
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Para penyandang disabilitas harus memiliki akses
pemulihan efektif yang setara untuk menegakan hak-hak mereka di bawah hukum tersebut.
Strategi 3. Lembaga-lembaga hak asasi manusia
nasional harus menaruh perhatian khusus pada hak-hak para penyandang
disabilitas dan mengintegrasikannya ke dalam berbagai macam fungsi mereka.
Pemerintah harus mempertimbangkan, sesuai dengan tataran lingkungan yang nyata
dari negara dan wilayah mereka, pendirian suatu lembaga hak-hak disabilitas
yang mandiri untuk melindungi hak-hak para penyandang disabilitas.
Strategi 4. Pemerintah harus menjamin bahwa para
penyandang disabilitas, termasuk kelompok-kelompok disabilitas di masyarakat
sipil, berpartisipasi secara penuh dari tahap awal untuk membantu membentuk
hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka
serta memantau dan mengevaluasi pelaksanaan hukum-hukum dan kebijakan-kebijakan
ini dan merekomendasikan penyempurnaannya.
Strategi 5. Negara harus mempertimbangkan
ratifikasi perjanjian inti hak asasi manusia internasional.[3]
Setelah berkonsultasi dengan kelompok-kelompok disabilitas, pemerintah harus
memasukkan informasi khusus tentang hak-hak para penyandang disabilitas dalam
laporan yang diserahkan kepada badan pemantau perjanjian di bawah perjanjian
yang mereka ratifikasi.
Strategi 6. Pemerintah harus mempertimbangkan
dukungan dan kontribusi kerja Komite Ad Hoc yang dibentuk oleh resolusi Majelis
Umum 56/168 pada tanggal 19 Desember 2001 yang mempertimbangkan usulan sebuah
“konvensi internasional yang menyeluruh dan utuh tentang pemajuan dan
perlindungan hak-hak para penyandang disabilitas” dalam uraian konvensi
internasional yang menyeluruh dan utuh tentang pemajuan dan perlindungan hak
dan martabat para penyandang disabilitas serta harus mendorong dan
memfasilitasi partisipasi penuh berbagai kelompok disabilitas dari seluruh
wilayah di dunia untuk berkontribusi pada kerja Komite.
Strategi 7. Pemerintah harus mengikutsertakan para
penyandang disabilitas dan organisasi-organisasi mereka, dalam
prosedur-prosedur mereka di tingkat nasional, regional dan internasional,
terkait penyusunan dan penetapan konvensi hak-hak disabilitas yang diusulkan,
(seperti yang diputuskan oleh resolusi Majelis Umum 56/168 pada tanggal 19
Desember 2001) dengan mengesahkannya, akan menjamin mekanisme pemantauan
pengaruh konsumen yang kuat terhadap hak-hak dan tanggung jawab para penyandang
disabilitas.
C.
Statistik
/definisi umum disabilitas tentang disabilitas untuk perencanaan
54.
Kurangnya
data yang memadai telah menjadi salah satu faktor signifikan yang menyebabkan
pengabaian isu-isu disabilitas, termasuk pembentukan kebijakan-kebijakan dan
langkah untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaannya, di wilayah ini. Di
berbagai negara berkembang, data yang terkumpul tidak mencerminkan tingkat
prevalensi disabilitas sepenuhnya. Keterbatasan ini menghasilkan sebagian
kerangka konsep yang ditetapkan, ruang lingkup cakupan survey yang dilakukan,
serta definisi, klasifikasi dan metodologi yang digunakan untuk pengumpulan
data disabilitas. Juga diakui bahwa sistem umum definisi dan klasifikasi
disabilitas diterapkan tidak seragam di wilayah ini. Dalam hubungan ini,
penggunaan lebih luas Klasifikasi Internasional tentang Fungsi, Disabilitas dan
Kesehatan di negara-negara wilayah ini diharapkan akan memberikan dasar
pembentukan sistem umum definisi dan klasifikasi disabilitas tersebut.
Strategi 8. Pemerintah didorong untuk
mengembangkan, pada tahun 2005, sistem disabilitas mereka terkait pengumpulan
dan analisis data serta menghasilkan statistik terkait yang dikelompokkan
berdasarkan disabilitas untuk mendukung pembuatan kebijakan dan perencanaan
program.
Strategi 9. Pemerintah
didorong untuk menetapkan, pada tahun 2005, definisi tentang disabilitas
berdasarkan Pedoman-Pedoman dan
Prinsip-Prinsip Perkembangan Statistik Disabilitas,[4]
yang akan memperkenankan perbandingan antarnegara di wilayah ini.
D.
Perkuat pendekatan berbasis komunitas untuk mencegah
penyebab disabilitas, rehabilitasi dan pemberdayaan para penyandang disabilitas
55.
Banyak
negara berkembang di wilayah ini kini mulai memperbanyak dan mengganti
program-program dan proyek-proyek rehabilitasi yang melembaga dan berfokus
tradisional dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan lingkungan sosial dan
ekonomi yang miskin, pengangguran tinggi dan sumber-sumber daya layanan-layanan
sosial yang terbatas. Program-program rehabilitasi berbasis komunitas membentuk
pusat strategisnya. Pendekatan berbasis komunitas sangat tepat untuk mencegah
penyebab disabilitas, identifikasi dan intervensi dini anak-anak penyandang disabilitas,
menjangkau para penyandang disabilitas di daerah pedesaan, meningkatkan
kesadaran dan advokasi inklusi para penyandang disabilitas di seluruh kegiatan
di komunitas, termasuk kegiatan-kegiatan sosial, budaya dan keagamaan.
Kebutuhan pendidikan, pelatihan dan lapangan kerja juga dipenuhi melalui
pendekatan ini. Hal ini esensial bahwa para penyandang disabilitas melakukan
pilihan dan kendali atas prakarsa untuk
rehabilitasi berbasis komunitas.
Strategi 10. Pemerintah,
berkolaborasi dengan organisasi-organisasi penyandang disabilitas dan
organisasi-organisasi masyarakat sipil, harus segera membentuk
kebijakan-kebijakan nasional, jika hal itu belum dilakukan, untuk memajukan
pendekatan berbasis komunitas dalam mencegah penyebab disabilitas, rehabilitasi
dan pemberdayaan para penyandang disabilitas. Sudut pandang rehabilitasi
berbasis komunitas harus mencerminkan pendekatan hak asasi manusia dan menjadi
contoh konsep hidup mandiri, yang meliputi konseling pendampingan.
VI.
KOOPERASI DAN
DUKUNGAN UNTUK MENCAPAI KERANGKA AKSI
MILENIUM BIWAKO
A.
Kooperasi dan kolaborasi Subregional
56.
Salah
satu fokus penting kerangka regional yang baru adalah memperkuat kooperasi dan
kolaborasi di kalangan pemerintah di tingkat subregional. Negara-negara di subwilayah bersama-sama berbagi hal-hal, aspirasi-aspirasi
dan kendala-kendala serta berada dalam posisi terbaik untuk saling memberikan
dukungan dan berkolaborasi. Dalam hal ini, pemerintah di masing-masing
subwilayah diminta untuk merumuskan prioritas-prioritas subwilayahnya sendiri
dan suatu rencana aksi untuk mencari dukungan bersama dalam pelaksanaan
Kerangka Aksi Milenium Biwako.
Strategi 11. Pemerintah, berkooperasi dengan
LSM-LSM terkait, seperti Forum Disabilitas Asia dan Pasifik, serta
organisasi-organisasi swa-bantu penyandang disabilitas di masing-masing
subwilayah Asia dan Pasifik, harus membentuk, pada tahun 2004,
mekanisme-mekanisme subregional untuk mendukung pemerintah mencapai
target-target dan strategi-strategi yang terkandung dalam Kerangka Aksi Milenium
Biwako.
Strategi 12. Pemerintah di masing-masing subwilayah
harus berkolaborasi dengan LSM-LSM terkait untuk membentuk fokal poin di dalam
organisasi-organisasi subregional agar kegiatan-kegiatan disabilitas subwilayah
terkoordinasi.
B.
Kolaborasi regional
1.
Berkolaborasi
dengan Pusat Pengembangan Disabilitas Asia dan Pasifik
57.
Pusat
Pengembangan Disabilitas Asia-Pasifik akan didirikan pada tahun 2004 mendatang
di Bangkok, sebagai warisan Dasawarsa Penyandang Disabilitas, untuk memajukan
pemberdayaan para penyandang disabilitas dan masyarakat bebas hambatan di
wilayah Asia dan Pasifik. Lembaga ini akan melayani para penyandang disabilitas
dan orang-orang yang bekerja bersamanya dalam memberikan pelatihan dan dukungan
informasi di wilayah Asia dan Pasifik.
Strategi 13. Pemerintah, sistem Perserikatan
Bangsa-Bangsa, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta harus
berkolaborasi, mendukung dan mengambil manfaat pelatihan dan kecakapan
komunikasi lembaga ini di bidang disabilitas di wilayah ini. Peningkatan
kecakapan Para penyandang disabilitas harus juga diatasi secara jelas oleh
Pusat Pengembangan Disabilitas Asia-Pasifik.
2.
Jejaring di
kalangan pusat layanan terpadu di bidang-bidang yang terfokus
58.
Ada
institusi-institusi dan lembaga-lembaga pemerintah, serta organisasi-organisasi
masyarakat sipil dan swasta terlibat dalam riset dan pengembangan, pelaksanaan
pendekatan baru di bidang disabilitas di wilayah Asia dan Pasifik. Hal ini
digunakan untuk mengidentifikasi institusi-institusi/lembaga-lembaga/organisasi-organisasi
tersebut sebagai pusat layanan terpadu dan memfasilitasi pertukaran informasi,
pengalaman dan pegawai di kalangan mereka untuk memajukan jejaring, agar
kooperasi dan kolaborasi termaksimalkan. Pusat Pengembangan Disabilitas Asia-Pasifik
dapat memainkan peran pendukung dalam membentuk dan mempertahankan jejaring
tersebut.
Strategi 14. Pemerintah, organisasi-organisasi
masyarakat sipil dan sektor swasta harus mendirikan jejaring pusat layanan
terpadu di bidang-bidang yang terfokus untuk memaksimalkan kooperasi dan
kolaborasi.
Strategi 15. ESCAP dan lembaga-lembaga perserikatan
bangsa-bangsa harus membantu mendirikan jejaring pusat layanan terpadu di
bidang-bidang yang terfokus melalui identifikasi dan pemajuan lembaga-lembaga
tersebut.
Strategi 16. Pemerintah di wilayah ini harus
melakukan perjanjian dagang yang pantas, alih teknologi dan pengembangan sumber
daya manusia agar pembagian sumber-sumber daya cepat dan efisien. Pemerintah
juga harus memajukan kooperasi regional, berbagi informasi dan
mendokumentasikan praktik-praktik yang baik untuk mencapai target-target
Kerangka Milenium Biwako.
C.
Kolaborasi
antarwilayah
59.
Dasawarsa
Penyandang Disabilitas Asia dan pasifik, 1993-2002, telah mempengaruhi
perkembangan di tingkat internasional, terutama di negara-negara Afrika.
Dasawarsa Penyandang Disabilitas Afrika, 2000-2009, dinyatakan pada tahun 1999.
Juga diharapkan Dasawarsa Penyandang Disabilitas Arab, 2003-2012, akan
dinyatakan, yang akan bertepatan dengan perpanjangan kerangka regional
disabilitas baru di wilayah Asia dan Pasifik. Dalam rangka memperkuat
program-program regional, belajar dari pengalaman-pengalaman wilayah lain dan
menciptakan sinergi di kalangan kerangka regional disabilitas,
kegiatan-kegiatan pertukaran antarwilayah itu penting.
Strategi 17. Wilayah Asia dan Pasifik, wilayah
Afrika dan wilayah Asia Barat harus memperkuat kooperasi dan kolaborasi mereka
untuk menciptakan sinergi dalam melaksanakan dasawarsa regional melalui
pertukaran informasi-informasi, pengalaman-pengalaman, keahlian-keahlian
antarwilayah, yang akan saling menguntungkan seluruh wilayah.
VII.
PEMANTAUAN DAN
PENINJAUAN
A.
Organisasi
pertemuan regional dan subregional
60.
Komisi
ini, melalui resolusi 58/4 tanggal 22 Mei 2002 tentang pemajuan masyarakat
inkusif, bebas hambatan dan berbasis hak bagi para penyandang disabilitas di
wilayah Asia dan Pasifik di abad kedua puluh satu, meminta Sekretaris Eksekutif
ESCAP melaporkan tentang kemajuan yang dibuat dalam melaksanakan resolusi itu
kepada Komisi ini dua tahun sekali sampai akhir Dasawarsa. ESCAP harus
mengadakan pertemuan dua tahun sekali untuk meninjau pencapaiannya dan untuk
mengidentifikasi aksi yang mungkin diperlukan untuk melaksanakan Kerangka Aksi
Milenium Biwako. Di pertemuan ini, perwakilan komite koordinasi disabilitas
nasional yang terdiri dari kementerian/lembaga-lembaga pemerintah, LSM-LSM,
organisasi-organisasi swa-bantu dan media akan diundang menyajikan laporan
untuk meninjau kemajuan pelaksanaan Kerangka Aksi Milenium Biwako di tingkat
nasional dan subnasional. Organisasi-organisasi swa-bantu penyandang
disabilitas harus didorong untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses peninjauan.
Pertemuan regional harus berfokus secara serentak pada target-target yang
ditetapkan dalam bidang-bidang tematik berikut ini:
(a)
Organisasi-organisasi
swa-bantu penyandang disabilitas, kaum perempuan penyandang disabilitas,
pendidikan, pelatihan dan lapangan kerja;
(b)
Akses
lingkungan terbangun serta akses informasi dan komunikasi;
(c)
Pengentasan
kemiskinan melalui jaminan sosial dan penghidupan berkelanjutan.
61.
Pemerintah
di masing-masing subwilayah harus menyelenggarakan pertemuan subregional untuk
meninjau pencapaiannya dan mengidentifikasi aksi yang mungkin diperlukan untuk
melaksanakan Kerangka Aksi Milenium Biwako berdasarkan proritas-prioritas serta
rencana aksi subregional mereka dengan cara yang sama dengan di tingkat
regional seperti yang dijelaskan dalam paragraf di atas.
B.
Kelompok kerja
regional untuk mengkoordinasi dan memantau Kerangka Aksi Milenium Biwako
62.
Kelompok
kerja regional yang terdiri dari sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa, pemerintah
dan organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi-organisasi
penyandang disabilitas di wilayah ini harus bertemu secara berkala untuk
mengkoordinasi dan memantau pelaksanaan Kerangka Aksi Milenium Biwako.
C.
Tinjauan
pertengahan tahun Kerangka Aksi Milenium Biwako
63.
Tinjauan
pertengahan tahun Kerangka Aksi Milenium Biwako harus diadakan. Berdasarkan
tinjauan ini, target-target dan rencana strategis paruh dasawarsa kedua boleh
diubah serta target-target dan rencana-rencana strategis baru dirumuskan.
1 Lihat
resolusi Majelis Umum 48/96 tanggal 20 Desember 1993 tentang
Peraturan-Peraturan Baku Kesetaraan Kesempatan bagi Para Penyandang
Disabilitas, lampiran, peraturan 6. Pendidikan, para.8.
2 Hak atas
informasi dan komunikasi harus meliputi, tetapi tidak terbatas pada, akses
penyandang disabilitas atas:
· Perangkat
keras/perangkat lunak komputer dan perangkat aksesori terkait yang dibeli dan
digunakan oleh lembaga-lembaga negara atau dibeli dan dimiliki oleh
lembaga-lembaga swasta untuk kepentingan umum;
·
Fasilitas-fasilitas
komunikasi umum;
·
Sistem penyiaran,
termasuk radio komunitas, konten video, televisi digital;
·
Sistem
telekomunikasi, termasuk layanan telepon;
·
Internet,
termasuk jaringan, konten multimedia, telepon internet dan perangkat lunak yang
digunakan untuk membuat konten jaringan;
·
Perangkat
elektronik/komunikasi konsumen lainnya, termasuk perangkat komunikasi bergerak;
·
Mesin transaksi
interaktif, termasuk mesin kios;
·
Layanan yang
diberikan melalui sistem informasi elektronik;
·
Bahan-bahan
instruksi termasuk buku teks, buku teks edisi guru dan lingkungan ajar
elektronik;
·
Bahasa lisan
melalui penerjemahan bahasa isyarat dan sebaliknya;
· Informasi dan
komunikasi dalam bahasa ibu individu, termasuk bahasa daerah yang mungkin tidak
memiliki naskah tertulis sendiri;
·
Setiap bahan
cetak, melalui semua sarana, seperti pembaca layar komputer, Braille dan
metode-metode augmentatif dan alternatif lainnya;
·
Setiap TIK masa
depan yang ditujukan untuk kepentingan umum.
Jika, apapun alasannya, akses langsung perihal-perihal
yang tercantum di atas tidak bisa segera dicapai oleh para penyandang disabilitas,
para pengembang TIK harus menjamin keefektifan interoperabilitas produk-produk
dan layanan-layanan mereka dengan teknologi bantu yang digunakan oleh para
penyandang disabilitas.
[3]
Enam perjanjian inti hak asasi manusia:
Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Perjanian
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau
merendahkan Martabat Manusia, Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Konvensi tentang
Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, dan Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Ras.