Search This Blog

Introduction

Bermula dari dirangkai. Titik demi titik dirangkai menjadi garis. Garis demi garis dirangkai menjadi huruf. Huruf demi huruf dirangkai menjadi kata. Kata demi kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat dirangkai menjadi alinea.

Sunday, August 15, 2010

What Diah Has Authored: Segulung Penyesalan dari Masa Lalu

Tangisku tak berkesudahan, semenjak tempat menaruh hati melabuhkan cintanya pada dara lain. Dia yang menjadi tambatan hati dalam suka dan duka tak kunjung hadir di tempat bisa kami mempercepat waktu. Hari pertama kunanti, kedua, ketiga, keempat tak juga hadir.

Ketika sudah jemu memandang awan beriringan seraya mengharapkannya, hendak kembali ke peraduan, aku melihatnya tidak jauh dari tempat biasa kami sedang berbuat seperti sediakala kami lakukan dengan dara dari negeri seberang. Bercumbu-cumbuan, bercinta-cintaan, merayu-rayuan, bersuka-sukaan, tiada henti.

Aku baru menyadari, hidup ini berisi kemunafikan dan kebohongan belaka. Aku merasa hidupku tidak lagi layak. Aku menyesal. Mengapa aku yang dijadikan tujuan dalam melampiaskan dorongan hatinya. Aku terbuai dengan segala apa yang ada dalam dirinya. Aku terlalu mempercayakan diriku kepadanya sepenuh hati.

Kini pupus sudah harapan dan impian yang memacu semangat hidup. Mati dalam kehidupan. Terpuruk dalam kemasygulan. Tenggelam dalam kekecewaan. Penyesalan menghantui diri. Jiwa mengalir duka bersama waktu. Lambat-lambat, kutarik ragaku dari dunia luar. Kututup pintu hatiku rapat-rapat. Sendiri dalam kesepian.

Masa dibiarkan lepas lalu seperti sungai mengalir tanpa batas. Musim tanam berganti musim panen. Musim hujan kembali datang. Aku masih tetap pada pendirianku. Keyakinanku untuk tidak menyibak lembaran baru. Terlalu hati sakit untuk disembuhkan. Kepercayaanku, kesetiaanku, kasih sayangku kepada lainnya punah.

Sampai pada seorang perempuan tua melangkah perlahan dan tertatih-tatih melewati peraduanku. Dia berdiri di hadapanku. Menatapku. Membuat kepalaku yang menunduk terangkat pelan-pelan. Hujan sangat lebat namun tak setitik air membasahi tubuhnya. Dia menyenandungkan alunan suara merdu ke seluruh pelosok:

Oo, ratna dewi muda
Padamkan muram wajahmu
Bangkitkan kembali kekuatan jiwa bahagiamu
Sia-sia sudah perjalanan susah hatimu

Oo, mawar belia cantik
Keringkan hatimu dari derita kecewa berkepanjangan
Bebaskan belenggu senyap yang mengurung dirimu
Percuma habis kemurungan batinmu
Lihatlah sekitar semesta
Cinta agungmu tidaklah sepadan
Banyak kasih berbalas kasih
Cinta putih sucimu berakhir menjadi riwayat
Tamat sudah cinta abadimu
Hikmah dipetik sebagai petuah bagi anak cucu
Mari rengkuh kembali dunia alam raya
Temukan ketentraman sejati dalam setiap insan

Aku terenyuh mendengarnya lantas terdiam sesaat. Untaian kata-kata yang ke luar dari mulutnya yang berkerut jelas-jelas menyentuhku. Aku masih diam terperangah ketika perempuan tua itu menjauhi peraduanku. Sadar-sadar, perempuan tua telah menghilang di kelokan.

Aku telusuri kata demi kata yang terus membekas dalam benak. Aku menyelami kehidupan penuh sia-sia selama ini. Janji-janji yang tidak mendatangkan budi baik pada masa lalu akan kuhapus dalam kenangan. Cinta suci ini akan kupupus demi hati yang rindu kebahagiaan.

Lama kelamaan aku mencoba menapaki jalan hidup baru. Aku kembali menjadi bagian dari alam semesta segera setelah persuaanku dengan perempuan tua bijaksana.

Tujuh musim berlalu, akhirnya aku menemukan pencurah hati yang datang dari balik bukit.


Jakarta, January 2001

Also Available at Kompasiana

No comments:

Post a Comment