Search This Blog

Introduction

Bermula dari dirangkai. Titik demi titik dirangkai menjadi garis. Garis demi garis dirangkai menjadi huruf. Huruf demi huruf dirangkai menjadi kata. Kata demi kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat dirangkai menjadi alinea.

Saturday, October 29, 2011

What Diah Has Mini-Researched: Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu Masih Dipandang Sebelah Mata

www.iddaily.net


Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Ini berarti bahwa rakyat memegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan pemerintahan. Rakyat menentukan cara dan corak pemerintahan serta menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan dicapai. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui perwakilan karena jumlah penduduknya sangat banyak dan wilayahnya sangat luas.  Dalam negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan lembaga penyalur aspirasi rakyat dalam memilih orang-orang yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif. Orang-orang yang duduk di dewan pemerintahan inilah perumus dan penyusun kebijakan strategis pemerintah pusat dan daerah atas nama rakyat.

Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Setiap warga negara berhak terlibat dalam mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Ketentuan tentang partisipasi secara aktif dalam kehidupan berpolitik terkandung dalam pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat 2 dan pasal 28I ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen dan pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Inti pasal-pasal tersebut antara lain setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan berupa dipilih dan memilih dalam pemilu maupun aksesibilitas untuk mendapatkan kesempatan tersebut tanpa diskriminasi. Landasan hukum tersebut berlaku pula bagi penyandang disabilitas dan diperkuat dengan UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang cacat.

Dalam pemilu, agar ketersediaan sarana dan prasarana yang mudah diakses bagi pemilih penyandang disabilitas dan prinsip luber dan jurdil tercapai, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merumuskan beberapa peraturan terkait. Peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-undang meliputi:
1.    Selain Perlengkapan pemungutan suara, KPU juga mendistribusikan alat bantu tuna netra demi menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara (pasal 142 ayat (2) jo penjelasan 142 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan pasal 105 ayat (2) jo penjelasan pasal 105 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres).
2.    Saat memberikan suaranya, pemilih penyandang disabilitas dapat dibantu oleh orang lain yang dipilihnya dan orang tersebut wajib merahasiakan pilihannya. (pasal 156 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan pasal 119 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres).
3.    Dalam pemilu legislatif, asas kerahasiaan tersebut juga berlaku bagi pemilih penyandang disabilitas yang bermukim di luar negeri (pasal 164 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD).
4.    Dalam pemilu presiden dan wapres, bagi pemilih penyandang disabilitas yang bermukim di luar negeri dan tidak dapat memberikan suaranya di TPSLN, dapat memberikan suaranya melalui pos yang disampaikan kepada PPLN di perwakilan RI setempat (pasal 120 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres).
5.    Sanksi diberikan kepada orang yang membantu pemilih penyandang disabilitas yang dengan sengaja memberitahukan pilihannya kepada orang lain, yaitu pidana penjara minimal tiga bulan dan maksimal satu tahun dan denda minimal tiga juta rupiah dan maksimal dua belas juta rupiah (pasal 295 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan pasal 241 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres).

Untuk menjamin pasal-pasal dilaksanakan secara konsekuen, KPU merumuskan peraturan-peraturan yang mengatur lebih khusus partisipasi berpolitik penyandang disabilitas dalam pemilu. Pasal 8 ayat (3) Peraturan KPU No. 3 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota dan pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menegaskan kembali demi  menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara KPU Kabupaten/Kota menyerahkan alat bantu tuna netra kepada KPPS. Selain itu, secara garis besar, Peraturan-peraturan yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum terkait disabilitas meliputi:
1.      Surat pemberitahuan untuk memberikan suara di TPS harus menyebutkan adanya kemudahan bagi pemilih penyandang disabilitas dalam memberikan suara (pasal 15 ayat (2) Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009).
2.      Untuk melaksanakan pemungutan suara, KPPS menyiapkan dan mengatur antara lain:
a.    meja untuk meletakkan kotak suara diberi jarak kurang lebih 3 meter dari tempat duduk Ketua KPPS, ditempatkan di dekat pintu keluar TPS dan berhadapan dengan tempat duduk pemilih;
b.    jarak antara bilik pemberian suara dengan batas lebar TPS minimal 1 meter;
c.    meja/papan untuk menempatkan bilik suara dan untuk pemberian tanda pada surat suara, dan meja khusus bagi pemilih penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda (pasal 19 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 30 Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
3.       TPS berlokasi di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh pemilih penyandang disabilitas (pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009)
4.      TPS berukuran panjang 10 meter dan lebar 8 meter atau sesuai kondisi setempat (pasal 21 ayat 1 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 22 ayat (1) Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
5.      Pintu masuk dan keluar TPS harus dapat menjamin akses gerak bagi pemilih penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda (pasal 21 ayat (2) Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 22 ayat (1) Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
6.      Pemilih penyandang disabilitas dipersilahkan terlebih dahulu memberikan suaranya atas seizin yang bersangkutan (pasal 28 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 29 ayat (2) Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
7.      Mekanisme dan teknis pemberian suara bagi pemilih penyandang disabilitas sama dengan pemilih lain, kecuali jika diperlukan dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaannya sendiri (pasal 30 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 31 Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
8.      Pemilih tuna netra menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan untuk memberikan suaranya dalam pemilu Anggota DPD (pasal 30 ayat (3) Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009).
9.      Atas permintaan pemilih penyandang disabilitas, Anggota KPPS kelima dan keenam atau orang yang ditunjuk oleh yang bersangkutan dapat bertugas memberikan bantuan dengan ketentuan:
a.  bagi pemilih yang tidak dapat berjalan, Anggota KPPS kelima dan keenam membantu pemilih menuju bilik pemberian suara, dan pemberian tanda dilakukan oleh pemilih sendiri;
b.   bagi pemilih yang tidak mempunyai keduabelah tangan dan tuna netra, Anggota KPPS kelima membantu melakukan pemberian tanda sesuai kehendak pemilih dengan disaksikan oleh anggota KPPS keenam;
c.   Bantuan orang lain, selain Anggota KPPS kelima dan keenam, atas permintaan pemilih yang bersangkutan, pemberian tanda dilakukan pemilih sendiri;
d.   Anggota KPPS dan orang lain yang membantu pemilih penyandang disabilitas wajib merahasiakan pilihan pemilih yang bersangkutan dan menandatangani Surat Pernyataan Pendamping Pemilih (pasal 31 Peraturan KPU No. 3 Tahun 2009 dan pasal 32 Peraturan KPU No. 29 Tahun 2009).
10. Pemilih penyandang disabilitas merupakan salah satu sasaran pelaksanaan sosialisasi dan   penyampaian informasi pemilu (bagian V Peraturan KPU No. 23 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Pemilu Anggota DPR, DPD Dan DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota).

Meskipun peraturan-peraturan tersebut diberlakukan dan KPU menjamin semua warga negara termasuk penyandang disabilitas berhak memberikan suaranya dalam pemilu, kenyataannya hak berpolitik penyandang disabilitas masih dientengkan. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang sistem, tahapan dan mekanisme pemilu mengakibatkan hak suara penyandang disabilitas rentan dimanipulasi.
Adapun permasalahan-permasalahan terkait kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemilih penyandang disabilitas dalam pemilu 2009 antara lain:
1.    Meskipun KPU bekerja sama dengan 26 LSM, sosialisasi dan simulasi pemilu masih sangat kurang. Pemilih penyandang disabilitas tidak memahami mekanisme dan teknis pengambilan suara. Perubahan dari cara mencoblos ke mencontreng serta jumlah partai, nomor urut dan anggota calon legislatif yang banyak membingungkan para pemilih penyandang disabilitas terutama tuna netra. Sosialisasi terhadap petugas di lapangan juga terbatas. Petugas banyak yang tidak memahami cara menangani pemilih penyandang disabilitas seperti penggunaan alat bantu tuna netra, petunjuk bagi tuna rungu dan tempat bagi pengguna kursi roda.
2.    Jumlah dan posisi pemilih penyandang disabilitas tidak terpetakan sehingga banyak pemilih penyandang disabilitas yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Hal ini disebabkan oleh keengganan petugas pendata untuk menanyakan jenis disabilitas kelompok yang didata dan kecurangan petugas pendata untuk tidak mendaftarkan pemilih penyandang disabilitas.
3.    Banyak TPS yang berlokasi di areal yang berumput tebal, becek, berbatu-batu, berlubang-lubang, berundak-undak, menanjak dan di tempat yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh pemilih pengguna kursi roda.
4.    Alat bantu tuna netra hanya tersedia untuk lembar surat suara DPD sehingga untuk pemilihan anggota legislatif pemilih penyandang tuna netra mesti didampingi petugas atau anggota keluarganya.
5.    Asas luber tidak terjamin karena dalam memberikan suaranya pemilih tuna netra didampingi oleh petugas, bukan orang yang dipilihnya sendiri. Begitu pula dengan pemilih pengguna kursi roda, suaranya diwakilkan karena aksesibilitas ke TPS kurang memadai.
6.    Surat suara berukuran 84 cm x 54 cm sangat menyulitkan pemilih penyandang disabilitas. Meskipun menggunakan alat bantu tuna netra, seorang pemilih tuna netra membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit untuk memberikan suaranya.
7.    Tidak tersedianya petunjuk dan informasi tentang pemilu yang dikemas khusus dengan menggunakan bahasa isyarat untuk pemilih tuna rungu sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi pada saat pendaftaran peserta pemilu dan mendengar penjelasan petugas tentang pemungutan suara.
8.  Sistem contreng dikhawatirkan akan menghapus hak berpolitik pemilih penyandang tuna netra karena tanda contreng digambar beragam oleh para tunanetra yang tidak bisa melihat sejak lahir.


Belajar dari ketidakteraturan pemilu 2009, Diharapkan pada pemilu mendatang pemerintah lebih memfokuskan upaya-upaya pemenuhan hak berpolitik penyandang disabilitas sehingga hak asasi penyandang disabilitas tidak dilanggar dan asas pemilu luber dan jurdil bisa terwujud.  Upaya-upaya tersebut antara lain:
1.    Sosialisasi dan simulasi pemilu harus diselenggarakan tidak hanya di kota-kota besar, namun juga di daerah-daerah terpencil dengan menggunakan metode dan cara yang sesuai dengan kebutuhan pemilih tuna netra dan tuna rungu.
2.    Partisipasi dan kerjasama secara efektif dan penuh antara individu, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah harus lebih ditingkatkan agar sarana, prasarana, informasi, mekanisme dan materi pemilu mudah diakses dan dimanfaatkan oleh pemilih penyandang disabilitas
3.    Pemerintah harus meningkatkan anggaran penyediaan alat bantu tuna netra agar alat bantu tuna netra juga tersedia untuk lembar surat suara pemilihan anggota legislatif.
4.    Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu harus menaruh perhatian khusus pada pelanggaran-pelanggaran terkait disabilitas sehingga hak berpolitik penyandang disabilitas tidak dirugikan.
5.    Yang terutama, merevisi peraturan perundang-undangan terkait yang tidak berpihak pada kaum penyandang disabilitas agar pemenuhan hak-haknya lebih terjamin.


Also Available at: Kompasiana