Perlakuan tak adil yang dialami orang dengan keterbatasan fisik sering terjadi. Padahal, keterbatasan fisik tak mengurangi kecerdasan dan kapasitas seseorang. Untuk memprotes diskriminasi dan memperjuangkan hak kaum marjinal itu, Wuri Handayani bergerak.
Oleh Nina Susilo
Dia mulai dikenal saat Pemerintah Kota Surabaya menolak pendaftarannya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS), akhir 2004. Pemkot Surabaya menginterpretasikan syarat sehat jasmani dan rohani sebagai tidak cacat. Maka, Wuri yang berkursi roda dianggap tak memenuhi syarat.
Gugatan dilayangkan kepada Pemkot Surabaya lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Februari 2005. Setelah tiga bulan, PTUN Surabaya memutuskan interpretasi itu salah dan mengabulkan gugatan Wuri.
Tak bisa menerima putusan itu, Pemkot Surabaya naik banding. Putusan PTTUN Jawa Timur, sekitar September 2005, menguatkan putusan sebelumnya. Pemkot Surabaya pun kasasi. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan pada Desember 2009. Putusan PTUN Surabaya dan PTTUN Jatim kembali dikuatkan. Wuri menang sekaligus kalah.
MA memenangkan gugatan Wuri. Namun, akibat putusan yang terulur empat tahun, ia tak bisa ikut proses perekrutan CPNS tahun 2010, batas usia mengganjalnya.
Bagaimanapun, putusan MA persis saat ulang tahun ke-37 Wuri, 8 Desember 2009, setidaknya menjadi yurisprudensi kasus diskriminasi terhadap para difabel. ”Kalau hanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai PNS secara pribadi, saya akan terima tawaran Pemkot Surabaya saat kasus ini ramai. Perlakuan diskriminasi itu struktural dan seperti puncak gunung es masih banyak kejadian lain,” kata anak ke-7 dari 8 bersaudara yang sejak kecil terbiasa mandiri itu.
Advokasi hak
Sejak kehilangan kemampuan berjalan akibat jatuh dari jurang dalam kegiatan pencinta alam pada 1993, Wuri mengalami perlakuan berbeda. Para dosen di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) mendorongnya pindah jurusan. Tetapi, teman-temannya mendukung dia terus melanjutkan kuliah. Akhirnya, ia pindah ke Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unair pada 1994.
Sebelum mendaftar CPNS, Wuri melamar di Fakultas Ekonomi Unair sampai enam kali. Dari pemimpin fakultas, ia mengetahui ketidaklulusannya sebagai calon pengajar bukan karena ketidakmampuan akademik, melainkan karena berkursi roda. Padahal, selama empat tahun Wuri kuliah berlangsung tanpa masalah.
Untuk melawan diskriminasi dan mengadvokasi penyandang cacat atas haknya, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat D’Care atau Diffable (different ability) Care. Secara resmi D’Care berdiri Februari 2006, tetapi gerakannya dimulai pada 2003.
Lembaga itu tumbuh dari keresahan Wuri. LSM bidang hukum yang mengurusi hak asasi manusia, kelompok perempuan yang menangani kekerasan domestik sudah banyak, tetapi pendampingan untuk penyandang cacat nyaris tak ada. Kalaupun ada organisasi yang memerhatikan penyandang cacat, fokusnya hanya pada pelatihan, stimulasi, dan pemberdayaan.
Lembaga yang mengadvokasi penyandang cacat dan kebijakan pemerintah belum ada. D’Care mengisinya dan penelitian menjadi bagian dari visi-misi mereka.
Kebijakan
D’Care bersama aktivis penyandang cacat terus memerhatikan berbagai aspek kehidupan. Ketika Pemprov dan DPRD Jatim menggodok Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, para aktivis ini tak ketinggalan. Satu pasal yang menyebutkan semua pelayanan publik harus menyediakan fasilitas yang bisa diakses penyandang cacat, manusia lanjut usia (manula), dan perempuan hamil berhasil dimasukkan pada Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 itu.
D’Care bersama aktivis penyandang cacat juga menyurvei Bandara Juanda saat baru dibangun. Beberapa kekurangan, seperti pintu toilet khusus difabel yang sulit dibuka dan mozaik lantai yang tak membantu mengarahkan orang dengan kemampuan penglihatan rendah (low vision) disampaikan. Sayang, belum ada perbaikan.
Sebaliknya, Pemkot Surabaya menanggapi kritik pada trotoar kota yang awalnya setinggi 50-60 cm, tanpa bagian landai. Proyek pedestrian Kota Surabaya pada 2009-2010 sudah lebih manusiawi. Tingginya sekitar 20 cm dan ada bagian yang landai. Tak hanya kaum difabel yang menikmati fasilitas itu, warga lain pun lebih nyaman dan tak berisiko jatuh.
Namun, seperti kata Wuri, diskriminasi terhadap difabel dan kaum marjinal lainnya masih banyak terjadi. Tahun lalu, siswa tunanetra ditolak masuk madrasah aliyah di Sidoarjo. Alasannya, tak ada guru sekolah luar biasa ataupun materi berhuruf braille.
Wuri menyarankan sekolah itu mengetes kemampuan siswa membaca Al Quran. Akhirnya, siswa itu diterima dan sampai kini tak bermasalah.
Anak tunanetra, kata Wuri, tak selalu memerlukan guru khusus. Cukup guru mengucapkan apa yang ditulis di papan tulis. Materi bisa diberikan dalam bentuk softcopy dan siswa mempelajarinya lewat komputer berprogram khusus.
Maka, guru dan siswa lain perlu disiapkan dalam sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah pilihan yang baik ketimbang memasukkan siswa ke sekolah luar biasa (SLB). SLB cenderung berbau diskriminasi dan berkonotasi negatif.
Belum pahamnya masyarakat mengenai kapasitas, hak, dan kebutuhan difabel, tak jarang menimbulkan diskriminasi. Wuri pun harus berkeliling ke sejumlah daerah untuk mendampingi difabel lainnya. Perjalanan untuk menghilangkan diskriminasi itu masih panjang, tetapi Wuri tak lelah dan ia terus bergerak.
WURI HANDAYANI
• Lahir: Kediri, 8 Desember 1972
• Suami: Arifudin Anang Basuki
• Pendidikan:
- Fakultas Farmasi Unair, 1992-1993 (tak tamat)
- Fakultas Ekonomi Unair, 1994-1998
- Magister Akuntansi Unair, 2002-2005
- S-2 untuk Disability and Social Policy School of Policy, University of Leeds, Inggris, 2007-2008
• Pekerjaan antara lain:
- Staf khusus pengelola basis data Fakultas Kedokteran Unair, 1999-2003
- Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Bhayangkara Surabaya, 2008-kini
- Konsultan keuangan PT Citra Prima Lestari
• Organisasi antara lain:
- Direktur Eksekutif D'Care
- Ketua Advokasi untuk Hak Buruh Perempuan dan Penyandang Cacat FSPMI Surabaya - Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat Jatim
Sumber: Kompas, 4 Juni 2010
Gambar: Kompasiana.com
Gambar: Kompasiana.com
No comments:
Post a Comment