Membatasi pengertian “cacat” tidak lepas dari manusia dan kemanusiaan. Terminologi “cacat” diperhalus dari masa ke masa untuk menghargai dan memajukan martabat dan hak asasi penyandang cacat yang pada dasarnya setara dengan orang-orang lain. Di bawah ini dijabarkan berbagai terminologi “cacat” untuk memahami lebih lanjut bahwa menyandang cacat bukan suatu aib atau tercela melainkan layak menjadi manusia sepenuhnya:
1. Handicap
Beberapa sumber menyatakan bahwa terminologi handicap muncul pada tahun 1504, ketika Raja Henry VII dari Inggris melihat kenyataan bahwa setelah perang banyak veteran cacat tidak memiliki pekerjaan dan berkontribusi kepada masyarakat. Dia mengizinkan para veteran cacat mengemis di jalan raya Inggris. Dengan topi di tangan (cap in hand) sebagai penadah, jadilah para veteran cacat itu peminta-minta uang.
Asal-usul kata tersebut tidak tepat sama sekali. Terminologi handicap berasal dari sebuah permainan taruhan dari tahun 1600-an yang dimainkan oleh dua pemain dan wasit. Permainan dimulai ketika salah satu pemain menawarkan benda miliknya kepada pemain lain. Setiap pemain memasukkan uang ke dalam sebuah topi, dimana kepemilikan uang tersebut ditentukan oleh hasil permainan. Wasit menentukan dan menaksir perbedaan nilai harga benda-benda tersebut untuk menyetarakan transaksi. Pemain yang menawarkan benda dengan harga yang lebih rendah juga harus membayar sejumlah uang yang ditetapkan wasit.
Di akhir permainan, para pemain memutuskan apakah ingin melanjutkan permainan atau tidak. Jika mereka menyetujui permainan dilanjutkan, wasit mengambil uang tersebut dan pertukaran barang terjadi. Jika mereka tidak menyetujui permainan dilanjutkan, wasit juga mengambil uang tersebut dan pertukaran barang tidak terjadi. Jika salah satu pemain menyetujui permainan dilanjutkan, dia mengambil uang tersebut meskipun pertukaran barang tidak terjadi
Penggunaan terminologi handicap yang berkaitan dengan “cacat” muncul pada tahun 1915, di mana kata tersebut digunakan untuk mengambarkan anak-anak yang memiliki cacat fisik, kemudian pada tahun 1950-an meluas meliputi juga orang dewasa dan cacat mental.
Kebanyakan penyandang cacat tidak menyukai terminologi handicap digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena cenderung mengambarkan citra pengemis, meskipun itu sesungguhnya bukan asal usul terminologi yang tepat.
2. Disability (Disabilitas)
Akhir-akhir ini terminologi disability menggantikan terminologi handicap yang dianggap lebih kasar dan tidak menyenangkan untuk didengar. Disability adalah setiap kondisi yang menghambat individu menyelesaian tugas sehari-hari atau mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan metode tradisional. Terminologi ini sering mengacu kepada fungsi individu, termasuk kelainan fisik, kelainan indera, kelainan kognitif, dan kelainan mental.
Pada tahun 1980, Organisasi Kesehatan Dunia menerbitkan dokumen International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps. Dokumen tersebut menyatakan bahwa kecacatan memiliki 3 aspek yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment adalah kondisi hilangnya atau ketakabnormalan struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis. Impairment lebih berkaitan dengan masalah struktur dan fungsi tubuh. Disability adalah suatu kondisi keterbatasan atau kurangnya kemampuan sebagai akibat dari suatu impairment untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Sedangkan handicap merupakan kondisi yang merugikan sebagai akibat dari impairment dan disability yang membatasi individu tertentu menjalankan peran normalnya, tergantung pada faktor usia, jenis kelamin, sosial dan budaya. Handicap berkaitan dengan masalah partisipasi yang dihadapi oleh individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan terminologi tersebut, impairment memiliki aspek permanen, disability tergantung pada kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu sedangkan handicap merupakan kerugian yang dihadapi individu dalam menjalin hubungan dengan individu lain. Satu jenis impairment bisa menyebabkan lebih dari dua disability dan mencakup banyak handicap. Begitu pula, handicap tertentu bisa berhubungan dengan beberapa disability yang berasal dari satu atau lebih impairment. Dengan demikian, kecacatan merupakan fenomena kompleks yang mengambarkan kondisi tubuh seseorang dengan masyarakat di mana mereka tinggal.
3. Differently abled
Differently abled berarti manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Differently abled yang diakronimkan mejadi diffabled dan dialihbahasakan menjadi difabel merupakan bentuk eufemisme dari “cacat”. Terminologi difabel diciptakan oleh Komite Nasional Partai Demokrat AS pada awal tahun 1980-an sebagai terminologi yang lebih diterima daripada handicapped (atau disabled di Inggris). Difabel menekankan pada kenyataan pada sesungguhnya penyandang cacat mampu menyelesaikan tugas tertentu atau menjalankan fungsi tertentu tetapi dengan cara yang berbeda atau membutuhkan waktu dan usaha yang lebih dibandingkan dengan orang-orang lain.
Motivasi penggunaan terminologi difabel adalah agar masyarakat umum mengarisbawahi lebih banyak aspek positif dari tantangan yang dihadapi para penyandang cacat dibandingkan aspek negatif dari ketidakmampuan dalam menjalankan kegiatannya. Berdasarkan terminologi tersebut, pada hakikinya setiap orang adalah difabel karena setiap orang mampu menjalankan kegiatannya, hanya sebagian orang menjalankannya dengan cara dan waktu yang berbeda.
4. Ketunaan
Kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti rusak atau rugi. Penyandang ketunaan diciptakan pertama kali oleh Didi Tarsidi, dosen Universitas Pendidikan Indonesia. Dia menyampaikan bahwa penyandang ketunaan adalah frase yang tepat untuk menerjemahkan persons with disabilities karena frase tersebut menggambarkan keadaan yang sesungguhnya yaitu kerusakan, kekurangan atau kerugian tetapi tidak merendahkan martabat. Di samping itu, kata “tuna” merupakan bahasa Indonesia sudah dikenal oleh masyarakat luas.
5. Cacat Menurut UU No. 4 Tahun 1997
Indonesia mengatur hal-hal berkaitan dengan cacat/kecacatan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Menurut pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut, penyandang cacat adalah adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental serta penyandang cacat fisik dan mental.
Definisi tersebut mendapat kecaman dan kritik keras dari berbagai pihak karena memiliki arti sempit yang bernuansa negatif dan mengarah kepada diskriminasi. Penggunaan frase penyandang cacat menjadikan seseorang yang tidak mampu karena kondisi kecacatannya sebagai kaum termarjinalisasi karena kebijakan yang diambil pemerintah selalu menempatkan penyandang cacat sebagai obyek dan tidak terprioritaskan. Oleh karena itu, frase penyandang cacat perlu diganti dengan frase lain yang mengandung nilai filosofis dan lebih konstruktif serta sejalan dengan prinsip-prinsip utama hak asasi manusia.
Semiloka Terminologi Penyandang Cacat Dalam Rangka Mendorong Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Penyandang Cacat yang diselenggarakan di Cibinong pada tanggal 8-9 Januari 2009 telah berhasil mengumpulkan terminologi pengganti penyandang cacat. Terminologi baru tersebut antara lain orang berkemampuan khusus, difabel, insan spesial, penyandang ketunaan, orang dengan kemampuan beda, diferensia, orang dengan tantangan istimewa, orang berkebutuhan khusus, penyandang identitas, dan narahandaya.
Sebagai kelanjutan semiloka tersebut, pada tanggal 19-20 Maret 2010 diadakan focus group discussion terbatas yang hanya dihadiri para pakar dari berbagai bidang ilmu. Focus group discussion tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa penyandang disabilitas merupakan terjemahan yang tepat untuk persons with disability.
Terminologi penyandang disabilitas dikukuhkan kembali dalam pertemuan Penyusunan Bahan Ratifikasi Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Penyandang Cacat yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 29 Maret-1 April 2010. Kesimpulan pertemuan tersebut antara lain bahwa para peserta sepakat mengganti istilah penyandang cacat dengan penyandang disabilitas karena istilah penyandang disabilitas mempunyai arti yang lebih luas dan mengandung nilai-nilai inklusif yang sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi hukum di Indonesia, dan sejalan dengan substansi Convention on the Rights of Persons with Disabilities.
Dalam pertemuan tersebut para pihak juga menyepakati agar semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga, media massa dan masyarakat luas mensosialisasikan terminologi penyandang disabilitas sebagai pengganti terminologi penyandang cacat. Dan yang terpokok, pertemuan tersebut merekomendasikan pemerintah dan DPR segera meratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities dengan menggunakan istilah penyandang disabilitas untuk menerjemahkan frase persons with disabilities.
Sumber: Dari Berbagai Sumber
Also Available at:
Kompasiana