Dari
segi spiritualitas, beberapa penyandang disabilitas, bahkan non-penyandang
disabilitas, mengajukan berbagai pertanyaan seputar esensi disabilitas. Mereka bertanya-tanya dalam hati: Kenapa Tuhan
harus mengadakan disabilitas? Kenapa Tuhan yang baik membiarkan umat-Nya
menderita? Apa salahku? Kenapa Aku pantas menyandang disabilitas? Apa makna
disabilitas di balik pernyataan bahwa manusia ciptaan yang paling sempurna? Pertanyaan-pertanyaan
gugatan tersebut terbenam dalam benak mereka sehingga menimbulkan pergumulan
batin berupa konflik dan ketegangan dengan diri sendiri, sesama atau ilahi. Mengalami
pergumulan batin bukan berarti kurangnya iman atau ketidakdewasaan spiritual,
tetapi merupakan proses perkembangan spiritual yang alami dan wajar.
Tidak
hanya faktor lingkungan, ajaran, dan kepercayaan yang menghasilkan
keanekaragaman hikmah disabilitas, melainkan juga pengalaman disabilitas yang
unik dari masing-masing individu. Beberapa orang memandang karma sebagai akar
penyebab disabilitas. Penyandang disabilitas mendapatkan karma atas kesalahan yang
pernah dilakukannya di kehidupan lampau, oleh karena itu perhatian khusus tidak
diperlukan. Manusia harus menderita bersama disabilitas untuk mencapai karma
yang lebih baik di kehidupan mendatang.
Banyak
yang menentang pandangan ini. Bagi yang menentangnya, disabilitas bukan
merupakan akibat dari karma buruk. Setiap kehidupan yang dijalani terpisah dari
keseluruhan kehidupan itu tersendiri. Manusia lahir tidak membawa karma dari
kehidupan sebelumnya. Dilahirkan dengan disabilitas bukanlah hukuman dan
manusia dilahirkan tidak untuk menderita. Sebelum inkarnasi, manusia
merencanakan kehidupan yang akan dijalani, termasuk tantangan dan rintangan yang
dihadapi. Sebagian besar manusia memilih dilahirkan sebagai penyandang
disabilitas.
Lainnya
mengaitkan disabilitas dengan dosa. Penyandang disabilitas dianggap sebagai
penanggung dosa bapak dan ibunya atau yang bersangkutan. Akibatnya stigma
negatif melekat tidak hanya pada penyandang disabilitas, melainkan juga seluruh
anggota keluarganya. Keluarga mengucilkan penyandang disabilitas dengan cara
tidak menyekolahkannya dan tidak memberinya kesempatan memiliki peran berarti
dalam masyarakat.
Selain
itu, pandangan bahwa disabilitas merupakan cobaan dari ilahi yang harus
diterima dengan pasrah masih melekat si masyarakat. Terbentuk pola pikir dalam diri
penyandang disabilitas bahwa disabilitas termasuk stigma dan keterbatasannya
merupakan takdir ilahi yang harus diterima dengan lapang dada. Hal ini
mengakibatkan penyandang disabilitas tidak berupaya merehabilitasi dirinya dan
meningkatkan potensi diri sendiri karena cenderung menerima nasib.
Terakhir,
ada yang memandang disabilitas disebabkan oleh kerasukan setan. Satu-satunya
cara untuk “menyembuhkan” adalah dengan melakukan pengusiran setan. Proses
pengusiran setan kadang-kadang sangat kejam dan menyebabkan cedera lebih
lanjut, bahkan kematian.
Pandangan-pandangan
negatif tentang disabilitas tersebut di atas mengakibatkan penyandang
disabilitas tidak termotivasi untuk berkarya dan akhirnya hanya menjadi beban
keluarga. Masyarakat pun tidak memberikan kesempatan setara kepada penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, buang
jauh-jauh pandangan-pandangan negatif tersebut. Mempertanyakan keberadaan
disabilitas boleh-boleh saja, tetapi tidak seharusnya manusia berpendapat bahwa
Tuhan atau setan bertanggung jawab atas disabilitas seseorang.
Memandang
disabilitas sebagai aspek keanekaragaman umat manusia, sama halnya dengan ras,
suku, adat istiadat, jenis kelamin, umur, status sosial, keyakinan politik dan
ideologi, merupakan bentuk penerimaan dan rasa hormat kepada penyandang
disabilitas. Pandangan ini merupakan pandangan yang membangun, positif dan
sehat baik untuk penyandang disabilitas maupun non-penyandang disabilitas.
Aspek
keanekaragaman umat manusia memungkinkan manusia merekonstruksi spiritualitas
tentang disabilitas tidak berdasarkan teori kekurangan. Selama disabilitas
dianggap sebagai sesuatu yang kurang, keterlibatan penyandang disabilitas akan
selalu diabaikan dan dikecualikan di dunia ini. Padahal, keberadaan penyandang
disabilitas membuat manusia bertoleransi satu sama lain serta menambah warna-warni
kehidupan.
Lebih
lanjut, pandangan spiritualitas tentang disabilitas tersebut pada dasarnya
memperluas pemahaman kemanusiaan itu sendiri dengan meruntuhkan kekuasaan dunia
yang mutlak dan menolak kemanusiaan eksklusif yang hanya dimiliki oleh kaum
mayoritas. Setiap manusia tetap mempertahankan sifat-sifat individu yang sejati
di dunia disabilitas. Melalui cara ini, kemanusiaan diperkaya melalui
keanekaragaman.
Tidak
hanya itu. Disabilitas mengajarkan manusia untuk menunjukkan nilai-nilai
kemanusiaan, berupa pengorbanan cinta, welas asih, perawatan penuh kesabaran
dan ketekunan yang diberikan oleh keluarga, teman dan pelaku rawat kepada
penyandang disabilitas. Melakukan perbuatan sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan secara ikhlas merupakan amal kebajikan yang mencerminkan ibadah
kepada Ilahi.
Dengan
demikian, alih-alih mencari jawaban atau menyalahkan disabilitas, melanjutkan
hidup dengan mengembangkan anugerah dan bakat yang dimiliki merupakan cara
terbaik penyandang disabilitas berdamai dengan disabilitasnya. Dalam hal ini,
spiritualitas apapun yang dijunjung berperan penting mengegolkan ikhtiar
tersebut. Spiritualitas membantu manusia menemukan makna hidup dengan
menghargai dan mencintai sesama. Bagi penyandang disabilitas sendiri,
spiritualitas memberikan ketentraman batin pada saat putus asa dan terkucilkan.