Orang baik cepat mati, aku menyimpulkannya setelah menyaksikan orang yang kukenal mati tanpa alamat. Kesamber keretalah, jatuh dari ataplah gara-gara ngebetulin genteng bocor, Kebawa arus sungailah, kesereduk kerbaulah. Mereka kebanyakan muda, bermoral, tunduk pada adat dan agama, tidak membawa aib, berguna bagi orang lain, bahkan ada yang menjadi teladan. Pokoknya menjadi bahan pujian setiap orang yang mendengarnya.
Mereka mengerti hakikat hidup. Abai terhadap sesama dan memerosotkan kepribadian yang patut berarti menyia-nyiakan hidup. Menikmati hidup bukan berarti bersuka-suka dalam menjalaninya. Ada hijab yang tidak bisa dihindari jika ingin mencapai tujuan sentosa. Selalu memelihara hubungan baik dengan sesama dengan ketentuan menahan diri dari perbuatan tercemar, selalu mengabdi kepada-Nya dengan aturan menunaikan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya secara tertib sehingga terkendali untuk tidak melakukan kejahatan baginya dirinya sendiri, masyarakat luas dan lingkungan. Mereka sadar, hidup itu bukan untuk bersenang-senang, tetapi bersakit-sakit. Begitu kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Mereka percaya, kehidupan setelah kematian adalah kehidupan abadi yang penuh tentram. Itu sebabnya, Sang Penentu Takdir memutuskan menariknya dari peredaran karena mereka telah mengamalkan segala tuntutan hukum, baik yang berasal dari-Nya maupun yang lahir dalam ikatan masyarakat. Untuk apa hidup berlama-lama, toh akhirnya jurusan yang ditempuh sama, kehidupan abadi yang penuh tentram.
Omong-omong aku belum mau mati. Aku mau hidup seribu tahun lagi. Darimana kita tahu cukup tidaknya kebajikan yang kira perbuat untuk mendapatkan balasan yang setimpal di alam sesudah kematian sehingga merasakan kehidupan yang lebih baik di antara yang terbaik? Semua orang akan mati adalah suatu aksioma, cuma waktunya yang berbeda. Kita hanya bisa menunda kematian. Mungkinkan begitu?
Makanya mendingan selama kita hidup, kita rasakan saja semua yang ada di dunia, daripada nanti menyesal. Mumpung masih hidup. Saya bukan penganut paham Hedonisme, saya yakin manusia dengan menggantungkan akal dan kepandaiannya dalam melakukan suatu perbuatan pasti memperhitungkan untung-ruginya dan akan melakukan yang menguntungkan bagi dirinya dan orang lain baik sekarang maupun di masa mendatang. Saya juga bukan penganut paham Sekularisme, saya yakin dengan agama ikut berperan di dalam kehidupan bermasyarakat, moral dan akhlak setiap manusia pasti akan lebih luhur.
Manusia mengerti bagaimana memperoleh kebutuhannya dan akibatnya jika kebutuhan tersebut terpenuhi. Untuk itu mereka mengadakan pemilihan berdasarkan asas free will. Atas pilihannya itu, setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, resiko ditanggung sendiri. Dengan mempertimbangkan tanggung jawab dan resiko, lebih baik jangan melakukan perbuatan yang menyimpang dari ukuran umum keseringan. Segala sesuatu yang keseringan pasti membawa efek tidak menyenangkan. Orang kebanyakan makan rujak saja bisa sakit perut! Cukup sekali saja, lantaran sudah merasakan kenikmatannya, ya sudah. Memang segala yang enak-enak bisa ketagihan. Nah, di sini akal dan perasaan berperan mengendalikan keinginan menurut kata hati. Dengan akal, manusia mempertimbangkan baik dan buruknya suatu perbuatan. Dengan perasaan, manusia lebih dominan melakukan perbuatan baik, bukan berarti menyingkirkan semua perbuatan tercela dalam kehidupan. No body’s perfect. Tiada seorang pun yang maksum.
Jika orang baik cepat mati, apa sebaliknya? Dosa adalah hukuman yang memperpanjang umur seseorang. Dengan menumpuknya dosa, manusia yang menghamburkan waktu hanya untuk memuaskan hawa nafsu tanpa mengenal-Nya diberi kesempatan mengubah haluan dari jalan gelap menuju pencerahan. Manusia macam ini pada dasarnya memahami segala bentuk aturan yang mengikat di muka bumi ini ditujukan untuk mendatangkan kemaslahatan dan kebahagian umat, namun mereka ogah berdisiplin, bahkan menyalahi aturan dengan alasan hidup tidak dibuat susah, kok. Hak kita mengecap hidup yang cuma sesaat ini dengan penuh kebebasan. Kebebasan adalah hak asasi manusia yang paling fundamental. Menentang kebebasan sama dengan menentang hak asasi manusia. Mereka tidak paham, hidup bukan hanya mengejar hak. Manusia dibebani kewajiban dalam mempertahankan kedudukannya di masyarakat. Nanti saat mereka merasakan haknya tidak terlindungi dan dilanggar, baru mereka sadar akan pentingnya kewajiban dalam tatanan bermasyarakat. Sampai kapankah manusia sadar? Tiada yang mampu menjawabnya. Suatu saat pasti akan sadar. Itu sebabnya malaikat pencabut nyawa belum ditugasi karena manusia hakikinya merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk tunduk dan patuh kepada segala bentuk aturan yang mengikat di bumi ini, hanya pengaruh lingkungan sosial yang membentuk watak anti tata kaedah.
Aku ingin orang-orang terdekatku tidak cepat mati. Aku ajak mereka berbuat maksiat, aku ajari mereka berbuat dosa, kami timbulkan kemurkaan dunia, kami munculkan keangkaraan terhadap manusia lain, kami lalaikan semua kewajiban yang dilimpahkan kepada kami. Sudah lama kami mempertahankan ini semua sampai kami lelah tidak karuan.
Dihubungkan dengan pernyataan tadi, apa yang saya sebut belakangan termasuk menunda kematian?
Jakarta, Juni – Juli 2002
Jakarta, Juni – Juli 2002
Also Available at Komunitas Spiritual Indonesia
No comments:
Post a Comment