Kajian dan analisis hukum skripsi ini dilatarbelakangi oleh kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, baik berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual maupun ekonomi yang menyebabkan keretakan rumah tangga. Penyusunan skripsi ini didasarkan pada beberapa pokok permasalahan antara lain usaha-usaha yang dilakukan oleh istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sebelum perceraian, cara istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga mengajukan perceraian dan hak-hak mantan istri korban kekerasan dalam rumah tangga setelah perceraian. Metode penelitian yang dipergunakan penyusun adalah library research, dimana penyusun mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penyusunan skripsi ini dan kemudian menelaahnya. Kesimpulan dari penelitian ini antara lain bahwa sebelum perceraian, istri harus terlebih dahulu menempuh usaha-usaha dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga seperti berdiskusi dengan suami, mengangkat hakam dengan jalan yang ma’ruf, bahwa istri berhak mengajukan perceraian ke pengadilan agama jika usaha–usaha tersebut tidak berhasil, dan bahwa setelah perceraian, mantan istri berhak atas tempat tinggal, biaya hidup, uang hiburan atau mut’ah, mahar, harta bawaan, harta perolehan masing-masing pihak sendiri–sendiri, setengah harta bersama, pemeliharaan anak (hadhanah) dan perwalian anak.
Search This Blog
Introduction
Bermula dari dirangkai. Titik demi titik dirangkai menjadi garis. Garis demi garis dirangkai menjadi huruf. Huruf demi huruf dirangkai menjadi kata. Kata demi kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat dirangkai menjadi alinea.
Saturday, June 19, 2010
Sunday, June 13, 2010
What Diah Has Copied: Dua Perempuan di Kursi Roda
Pagi di awal bulan Mei, Malang gerimis. Kalau melihat mendung tebal di langit, sepertinya hujan bakalan menderas. Saya berlari menuju beranda paviliun di sebuah rumah tua yang berlokasi di Jalan Diponegoro Nomor 3, Malang. Setelah melintasi halaman, terlihat dua perempuan di atas kursi roda.
Oleh: Putu Fajar Arcana
Wajah sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim (61) segera saya kenali. Tetapi seorang perempuan muda, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Susanty Octavia (22), baru pertama kali ini saya lihat. Dengan segera sambil tersenyum Ratna memperkenalkan ”murid”, yang juga ”asistennya” itu. Santy tersenyum dan menjabat tangan. Kelihatan ia agak canggung dan pemalu.
Ratna duduk di sisi dinding sebelah barat menghadap ke timur. Posisi itu membuatnya cukup leluasa mengawasi para tamu yang datang ke rumahnya. Lebih penting dari itu, ia cukup dekat dengan kabel yang menjulur dari dinding menuju tangan kanannya. Jika sedang membutuhkan bantuan, Ratna cukup menekan tombol bel dan suara ”assalamualaikum” akan mengantarkan Umi, pembantunya, untuk mendekat kepadanya.
”Apa yang mengantarkanmu ke Malang,” tanya Ratna mengawali perbincangan kami.
”Saya kangen sama Mbak Ratna,” kata saya sembari tersenyum.
Ratna terkekeh. Ia mengerti maksud saya. Sekitar awal tahun 2000-an, saya dan keluarga pernah bermukim di kota itu. Dan setiap ada kesempatan turut pula berdiskusi di rumah Ratna, yang dijadikan sekretariat kelompok diskusi Forum Pelangi, sejak sekitar 13 tahun silam.
Tepat di balik beranda paviliun, di mana kami mengobrol, terdapat susunan rak buku. Isinya sebagian besar buku-buku sastra. Inilah toko buku Tobuki (Toko Buku Kita) yang dibuka Ratna sejak sekitar empat tahun lalu. Nama Tobuki memang benar-benar mengandung pengertian ”milik bersama”, di mana semua pembeli melayani diri sendiri. ”Termasuk bayar dan ambil uang kembalian di laci, swalayan he-he-he,” kata Ratna dengan tawanya yang khas.
Ratna kemudian bercerita betapa ia memiliki harapan besar pada Santy. Mereka baru bertemu empat tahun lalu. Sebelum itu Ratna mengaku selalu berganti-ganti asisten untuk menuliskan kisah-kisah yang ia tuturkan. ”Mungkin sudah ada enam orang sebelum Santy yang dampingi aku. Santy ini lain, karena dia juga cerpenis,” kata Ratna.
”Sejak lama saya cari-cari Bu Ratna, sampai akhirnya saya berkirim surat agar diterima sebagai murid. Ibu saya bilang, saya harus belajar menulis dari pengarang terkenal seperti Ibu (Ratna),” kata Santy. Surat yang ditulis Santy tak pernah sampai ke tangan Ratna. Seorang suami dari pembantu keluarga Santy tak pernah mengantarkannya, padahal lelaki itu mengaku tahu rumah Ratna. Pertemuan keduanya terjadi karena Santy memberanikan diri untuk menelepon Ratna langsung.
”Saya deg-degan, wong saya ini remaja mau ketemu sama Ibu (Ratna) yang namanya sudah dikenal lewat buku-buku cerpen dan novel,” tutur Santy. Sejak itu perlahan Santy menjadi juru tulis di kala Ratna mengarang cerpen atau novel.
Lumpuh
Sebagai difabel, seluruh kemampuan fisik Ratna nyaris tak berfungsi. Sejak usia 10 tahun perlahan tangan dan kakinya mengecil dan menjadi lumpuh. Dokter tak pernah bisa mendiagnosis jenis penyakit yang menyerangnya. ”Ada dokter bilang gejala itu disebut rachitis, yang menyerang sendi, tetapi teori itu dibantah lagi karena rachitis hanya ditemukan di negara-negara yang kurang mendapat sinar matahari seperti Eropa. Tetapi yang jelas ini bukan polio….” tuturnya ringan.
Ketika menginjak masa remaja Ratna pernah mengalami krisis batin yang dahsyat. ”Bagaimana tidak, aku lahir normal, tetapi paling jelek di antara semua saudara perempuan. Sudah jelek cacat pula. Aku marah sama Tuhan, karena ini tidak adil. Aku cemburu setiap ada anak main engklek, gobak sodor, atau sepeda. Sementara aku duduk saja di kursi roda….”
Saat-saat seperti itulah Siti Bidasari Ibrahim binti Arifin (alm), ibu kandung Ratna, selalu hadir dengan kata-kata yang memberinya semangat hidup. Ibunya selalu bilang, ”Tuhan tidak mungkin menciptakanmu tanpa maksud baik. Pasti ada kelebihan di balik apa yang kamu jalani sekarang,” ujar Ratna menirukan kata-kata ibunya.
Meski begitu, dalam sikap sehari-hari ibunya tidak pernah memberi perlakuan istimewa kepada Ratna. ”Aku tidak dianggap cacat. Kalau memang jam tujuh harus hadir di meja makan, kami 10 anaknya harus hadir. Tidak ada alasan cacat…. kek-kek-kek… (terkekeh). Jadi aku tak pernah dimanja, apalagi dianggap beban keluarga,” kata perempuan yang telah menghasilkan ratusan cerpen dan tujuh novel dari atas kursi roda ini.
Berkat dukungan ibunya, Ratna bangkit dan menyadari kebenaran teori fisika: sebuah benda akan memindahkan masanya ke sisi lain, apalagi salah satu sisi diberi tekanan tertentu. ”Seperti tangan ini, kalau ditekan di sini akan menggelembung di sisi lain,” kata Ratna sembari mencoba menekan tangan kirinya. Jika sekarang, tambahnya, tangan dan kakinya lumpuh, serta matanya tak bisa melihat dengan sempurna, Tuhan memberinya telinga dan ingatan yang tajam. ”Sekarang aku menulis pakai telinga dan ingatan,” katanya.
Sejak masa kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya, Malang, dulu Ratna mengandalkan telinga dan ingatan untuk ”mencatat” seluruh materi kuliah. ”Tidak mungkin membawa perekam, waktu itu tahun-tahun 1950-an, tape recorder itu besar sekali, he-he-he,” kata Ratna yang lahir di Malang, 24 April 1949. Kuliah Ratna di FIA tidak berlanjut karena ia menganggap kampus itu tidak aksesibel bagi para difabel seperti dirinya.
Hal yang sama juga dialami Santy. Ia memutuskan berhenti sekolah dari sebuah SMA lantaran infrastruktur sekolahan itu tidak mendukungnya sebagai penyandang cacat. ”Kebutuhan pengguna kursi roda seperti saya, secara umum tidak terperhatikan di Indonesia,” kata Santy, yang lahir 18 Oktober 1988 ini.
Bukan beban
Hujan kini benar-benar tidak bisa dihalangi. Saking lebatnya tempias air sampai juga di beranda di mana kami berbincang. Ratna menekan bel dan terdengar suara ”assalamualaikum”. Umi bergegas menemuinya untuk kemudian mendorong Ratna masuk ke kamar pribadinya, sementara Santy tak mau dibantu. Ia memutar roda kursi untuk kemudian bergerak menuju arah yang sama. Kami meneruskan obrolan di kamar Ratna. Sisi barat kamar itu terdapat rak tinggi yang dipenuhi buku, kertas-kertas kerja Ratna, serta beberapa foto kenangan masa kecil. ”Coba kamu lihat, itu aku bersama adikku,” kata Ratna. Foto itu menunjukkan Ratna sedang berdiri di belakang dua adiknya. Setidaknya itulah kenangan bagi Ratna bagaimana ia menikmati saat-saat terakhirnya bisa berjalan.
Sejak awal sebenarnya Ratna Indraswari Ibrahim bercita-cita menjadi ahli akunting atau psikolog. Tetapi ia menyadari bahwa rata-rata orang Indonesia takjub akan hal-hal yang visual. ”Aku urungkan niat itu karena secara visual mungkin aku diremehkan. Maka aku memutuskan menjadi pengarang…,” kata Ratna.
Dunia sastra telah memberinya daya hidup, yang barangkali tidak bisa diberikan bidang lain. Ketika cerpennya pertama kali dimuat sebuah majalah, Ratna mengaku tak lagi minder. ”Aku merasa sama dengan orang lain. Bahkan sekarang aku merasa sama cantiknya dengan Djenar (Maesa Ayu) atau Dee (Dewi Lestari), ha-ha-ha…” Ratna terbahak.
Kunci dari semua pencapaian itu, tambahnya, jangan pernah menganggap difabel itu sebagai beban keluarga. Orang-orang sekitar, terutama keluarga terdekat, sama sekali tidak boleh memperlakukan difabel sebagai orang cacat. ”Jangan dibuat tergantung sama orang lain,” kata Ratna.
Ratna merasa bersyukur tergabung dalam Yayasan Bakti Nurani, sebuah yayasan yang beranggotakan 50 difabel dan sudah berdiri sejak 30 tahun silam di kota Malang. Di situ para difabel benar-benar diangkat dari lembah keminderan yang menyelimuti mereka selama ini. Di yayasan ini pula Ratna mulai menulis cerpen. ”Dulu para anggotanya yang bantu aku mengetik ceritaku,” kata dia.
Kami mengakhiri pertemuan ini dengan makan siang. Santy sedang menjalani puasa Senin-Kamis. Ia memilih tetap tinggal di kamar Ratna. Umi perlahan-lahan dan telaten menyuapi Ratna, sastrawan yang namanya mendunia itu…. Dan hujan pun tetap bernyanyi saat menerpa dedaunan. Saya pamit, berlari menerobos hujan….(Dahlia Irawati)
Sumber: Kompas, 16 Mei 2010
Gambar: Kompasiana
Labels:
Penyandang Disabilitas,
Tokoh,
What Diah Has Copied
Saturday, June 12, 2010
What Diah Has Copied: Dari Titik untuk Para Difabel
Menjadi difabel atau ”different ability” bukan berarti tak berdaya. Masalahnya, banyak orang tidak tahu cara menghadapi difabel sehingga justru membuat mereka tak mandiri atau malah merasa didiskriminasi.
Oleh: Agnes Swetta Pandia dan Nina Susilo
Di samping itu, kesempatan bekerja formal bagi para difabel amat terbatas. Apalagi, tak jarang para difabel pun mengalami diskriminasi ganda. Serba keterbatasan para difabel itu menarik hati Titik Winarti untuk membantu mereka mandiri.
Ia berusaha menyiapkan mental mereka, di samping memberikan pelatihan keterampilan dan kemampuan pemasaran. Sejak tahun 1999, sekitar 470 orang difabel yang menjadi anak didiknya telah mandiri. Mereka mampu membuka usaha kerajinan tangan dan mengembangkannya di kampung asal masing-masing.
Apa yang membuat hatinya tergerak? Anik Puji Lestari (40) yang tunarungu, misalnya, memilih bekerja di rumah Titik setiap hari. Rupanya, perempuan berkacamata yang tinggal di Surabaya itu sering dipukuli oleh suaminya. Dengan bekerja, tak hanya penghasilan yang dia peroleh, tetapi juga menjauhkan dirinya dari kekerasan dalam rumah tangga.
Berbagai masalah para difabel, seperti dialami Anik, itulah yang membuat Titik berusaha membantu mereka. Ia membuka rumahnya untuk difabel. Sebanyak 35-40 orang difabel dari sejumlah daerah di Jatim mengisi rumahnya meskipun rumah itu relatif sempit bagi mereka karena luas tanahnya hanya sekitar 200 meter persegi.
Keterbatasan sarana itu pula yang membuat dia tak bisa menampung semua difabel yang ingin belajar mandiri. Luas rumahnya terbatas sehingga para difabel terpaksa tinggal bersama keluarga Titik di rumah itu.
”Setiap kali ada difabel yang sudah mandiri dan pindah atau kembali ke kampungnya, baru saya bisa menerima difabel baru untuk dilatih,” kata Titik yang pada 1998 membuat usaha kerajinan tangan berbendera Tiara Handicraft.
Usaha kerajinan tangan itu menghasilkan, antara lain, tas perca, berbagai cendera mata dan keperluan rumah tangga berbahan baku kain. Modal awal Rp 500.000 diperoleh Titik dari meminjam pada Koperasi Setia Bhakti Wanita.
Satu–dua tahun setelah usahanya berjalan, beberapa penyandang tunadaksa datang ke rumahnya. Mereka minta diberi pekerjaan karena kesulitan mendapat penghasilan. Ia tak kuasa menolak mereka. Maka, dari dua–tiga orang difabel, lalu puluhan difabel ada di rumahnya.
”Saya tak bisa menampung lebih banyak difabel, padahal keinginan mereka untuk mandiri besar. Rumah sekaligus bengkel kerja kami tak memadai,” kata Titik yang sulit menolak orangtua mengantar anaknya yang difabel ke rumahnya.
Dua tahun
Mengajari difabel untuk mandiri bukan pekerjaan mudah. Titik mengakui, dari puluhan difabel yang bekerja untuk Tiara Handicraft, hanya 35–40 persen yang hasilnya bisa memenuhi kualitas produk layak jual.
Ia lalu bercerita tentang tahapan pembelajaran yang diberlakukan untuk difabel. Pada masa awal, bagi mereka yang belum bisa mengurus diri sendiri, akan dilatih kemandiriannya dalam kebersihan diri, seperti mandi dan mencuci pakaian.
Biasanya, dalam dua pekan, para difabel mampu mengurus dirinya sendiri. ”Pada masa awal ini, mereka biasanya dibantu sesama difabel,” katanya.
Ketika Titik melihat difabel itu sudah siap menerima pelatihan, ia akan mengajari mereka keterampilan sesuai minat masing-masing, mulai dari menggambar pola sampai menjahit. Dari pengalamannya, rata-rata setelah sekitar dua tahun para difabel itu siap bekerja secara mandiri.
Titik tak menargetkan waktu bagi difabel untuk berlatih keterampilan di tempatnya. Dia menyerahkan sepenuhnya kesiapan untuk bekerja itu kepada setiap difabel.
”Kadang ada di antara mereka (difabel) yang kembali (bekerja di Tiara Handicraft) setelah keluar. Saya hanya membolehkan mereka untuk dua kali kembali. Saya ingin mereka benar-benar siap, terutama secara mental, sebelum memutuskan keluar,” kata Titik yang menghabiskan tak kurang dari Rp 15 juta per bulan untuk biaya hidup dan menggaji para difabel.
Salah satu hal yang dilakukan Titik untuk menyiapkan mereka adalah mengajak para difabel secara aktif dalam setiap pameran yang diikuti Tiara Handicraft. ”Ini untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka ketika harus membuka usaha sendiri.”
Setelah mereka punya usaha sendiri pun, hubungan di antara Titik dan anak didiknya tak terputus. Bila sedang banyak pesanan, ia meminta mereka membantunya memenuhi pesanan itu.
Tetap mikro
Seiring berjalannya waktu, Tiara Handicraft makin berkembang. Tahun 2005 Titik mendapat penghargaan Microcredit Award dari pemerintah. Dia lalu diundang mengikuti pencanangan Tahun Internasional Kredit Mikro di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.
Jaringan pasar produknya pun semakin luas. Produk dari Tiara Handicraft dijual sampai ke Belanda, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura. Kendati jaringannya meluas dan produksi meningkat, usaha kerajinan tangan ini tetap berlingkup mikro. Alasannya, margin keuntungan sekitar 20–30 persen yang diperolehnya relatif habis untuk biaya operasional sehari-hari.
”Ketika ada keuntungan sedikit, uang itu dipakai untuk membiayai kebutuhan sehari-hari difabel yang baru bergabung. Kondisi seperti ini berjalan terus-menerus,” kata Titik.
Ia bercerita, sebuah lembaga manajemen perguruan tinggi di Jakarta pernah berusaha membantunya mengembangkan usaha. Di atas kertas, Tiara Handicraft bisa lepas dari usaha mikro, dengan ”syarat” selama dua tahun Titik tidak menerima difabel baru.
”Ah, mereka bisa bicara begitu karena tak pernah langsung berhadapan dengan orangtua anak-anak itu ataupun para difabel,” kata Titik, yang memilih tak mengikuti saran tersebut.
Untuk menghemat modal dan bertahan di tengah persaingan usaha, Titik juga menjadikan limbah kain sebagai bahan baku produk Tiara Handicraft. Ia mendapatkan limbah itu, antara lain, dari Bali.
Titik mengakui, meski ingin usahanya lebih berkembang, dia tak mau tujuan memandirikan para difabel terpinggirkan. ”Misi utama saya adalah bagaimana menjadikan anak-anak difabel bisa mandiri atau diterima pasar kerja,” ujarnya.
Titik Winarti
- Lahir: Surabaya, 11 Maret 1970
- Suami: Yudha Darmawan
- Anak:
- Ade Rizal (18
- Aribowo (16)
- Maulana (11)
- Agra Prana (3)
- SD Negeri Karah Surabaya
- SMP Yayasan Pendidikan Kandangan, Pare, Kediri
- SMA YPPI Surabaya
Penghargaan: Pemenang Microcredit Award 2005
Sumber: Kompas, 12 Juni 2010
Gambar: Kompasiana
Labels:
Penyandang Disabilitas,
Tokoh,
What Diah Has Copied
What Diah Has Copied: Aksesibilitas Difabel Belum Terwujud
Surabaya, Kompas - Aksesibilitas difabel di Indonesia belum terwujud setelah gerakan aktivis difabel berlangsung satu dekade pascareformasi. Hal ini disebabkan lemahnya akses pembuatan kebijakan pemerintah.
Masalah ini terungkap dalam Kongres Nasional Aktivis Gerakan Difabel Indonesia di Surabaya, Sabtu (5/6). Pertemuan itu bertajuk ”Refleksi Satu Dekade Gerakan Difabel Indonesia Pascareformasi”.
”Secara makro, gerakan difabel di Indonesia belum mengalami perubahan apa pun. Kebijakan publik belum bisa disentuh,” tutur Direktur Eksekutif Yayasan Talenta Surakarta Sapto Nugroho.
Umumnya, gerakan difabel baru merespons dampak marjinalisasi. Advokasi dan pendampingan dilakukan kasus per kasus, sementara akar masalah belum teratasi.
Direktur Eksekutif LSM Dria Manunggal Yogyakarta Setia Adi Purwanta mengatakan, sejak zaman Orde Baru, yang terjadi adalah penyeragaman penanganan difabel sesuai dengan cara pandang pemerintah.
Akibatnya, warga difabel melulu diarahkan ke sektor nonformal, misalnya tunanetra selalu dilatih menjadi tukang pijat dan warga difabel lain menjahit. Padahal, semestinya difabel memiliki hak yang sama untuk akses pendidikan dan ketenagakerjaan. ”Ini pendapat yang sangat menyepelekan masalah dan sampai saat ini masih berlangsung.”
Bahrul Fuad dari Perhimpunan Daya Mandiri menambahkan, diskriminasi yang sangat terstruktur ini mengakibatkan banyak warga difabel tak mendapat akses pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan hidup sebagai warga negara. Sebagian gerakan difabel masih berkutat pada masalah penguatan warga difabel.
Karena itu, Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigad) Yogyakarta Joni Yulianto menyarankan gerakan mendasar untuk mengatasi diskriminasi yang terstruktur itu. (INA)
Sumber: Kompas, 7 Juni 2010
Gambar: Kompasiana.com
Friday, June 4, 2010
What Diah Has Copied: Wuri Mendobrak Diskriminasi
Perlakuan tak adil yang dialami orang dengan keterbatasan fisik sering terjadi. Padahal, keterbatasan fisik tak mengurangi kecerdasan dan kapasitas seseorang. Untuk memprotes diskriminasi dan memperjuangkan hak kaum marjinal itu, Wuri Handayani bergerak.
Oleh Nina Susilo
Dia mulai dikenal saat Pemerintah Kota Surabaya menolak pendaftarannya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS), akhir 2004. Pemkot Surabaya menginterpretasikan syarat sehat jasmani dan rohani sebagai tidak cacat. Maka, Wuri yang berkursi roda dianggap tak memenuhi syarat.
Gugatan dilayangkan kepada Pemkot Surabaya lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Februari 2005. Setelah tiga bulan, PTUN Surabaya memutuskan interpretasi itu salah dan mengabulkan gugatan Wuri.
Tak bisa menerima putusan itu, Pemkot Surabaya naik banding. Putusan PTTUN Jawa Timur, sekitar September 2005, menguatkan putusan sebelumnya. Pemkot Surabaya pun kasasi. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan pada Desember 2009. Putusan PTUN Surabaya dan PTTUN Jatim kembali dikuatkan. Wuri menang sekaligus kalah.
MA memenangkan gugatan Wuri. Namun, akibat putusan yang terulur empat tahun, ia tak bisa ikut proses perekrutan CPNS tahun 2010, batas usia mengganjalnya.
Bagaimanapun, putusan MA persis saat ulang tahun ke-37 Wuri, 8 Desember 2009, setidaknya menjadi yurisprudensi kasus diskriminasi terhadap para difabel. ”Kalau hanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai PNS secara pribadi, saya akan terima tawaran Pemkot Surabaya saat kasus ini ramai. Perlakuan diskriminasi itu struktural dan seperti puncak gunung es masih banyak kejadian lain,” kata anak ke-7 dari 8 bersaudara yang sejak kecil terbiasa mandiri itu.
Advokasi hak
Sejak kehilangan kemampuan berjalan akibat jatuh dari jurang dalam kegiatan pencinta alam pada 1993, Wuri mengalami perlakuan berbeda. Para dosen di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (Unair) mendorongnya pindah jurusan. Tetapi, teman-temannya mendukung dia terus melanjutkan kuliah. Akhirnya, ia pindah ke Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Unair pada 1994.
Sebelum mendaftar CPNS, Wuri melamar di Fakultas Ekonomi Unair sampai enam kali. Dari pemimpin fakultas, ia mengetahui ketidaklulusannya sebagai calon pengajar bukan karena ketidakmampuan akademik, melainkan karena berkursi roda. Padahal, selama empat tahun Wuri kuliah berlangsung tanpa masalah.
Untuk melawan diskriminasi dan mengadvokasi penyandang cacat atas haknya, ia mendirikan lembaga swadaya masyarakat D’Care atau Diffable (different ability) Care. Secara resmi D’Care berdiri Februari 2006, tetapi gerakannya dimulai pada 2003.
Lembaga itu tumbuh dari keresahan Wuri. LSM bidang hukum yang mengurusi hak asasi manusia, kelompok perempuan yang menangani kekerasan domestik sudah banyak, tetapi pendampingan untuk penyandang cacat nyaris tak ada. Kalaupun ada organisasi yang memerhatikan penyandang cacat, fokusnya hanya pada pelatihan, stimulasi, dan pemberdayaan.
Lembaga yang mengadvokasi penyandang cacat dan kebijakan pemerintah belum ada. D’Care mengisinya dan penelitian menjadi bagian dari visi-misi mereka.
Kebijakan
D’Care bersama aktivis penyandang cacat terus memerhatikan berbagai aspek kehidupan. Ketika Pemprov dan DPRD Jatim menggodok Rancangan Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, para aktivis ini tak ketinggalan. Satu pasal yang menyebutkan semua pelayanan publik harus menyediakan fasilitas yang bisa diakses penyandang cacat, manusia lanjut usia (manula), dan perempuan hamil berhasil dimasukkan pada Perda Jatim Nomor 11 Tahun 2005 itu.
D’Care bersama aktivis penyandang cacat juga menyurvei Bandara Juanda saat baru dibangun. Beberapa kekurangan, seperti pintu toilet khusus difabel yang sulit dibuka dan mozaik lantai yang tak membantu mengarahkan orang dengan kemampuan penglihatan rendah (low vision) disampaikan. Sayang, belum ada perbaikan.
Sebaliknya, Pemkot Surabaya menanggapi kritik pada trotoar kota yang awalnya setinggi 50-60 cm, tanpa bagian landai. Proyek pedestrian Kota Surabaya pada 2009-2010 sudah lebih manusiawi. Tingginya sekitar 20 cm dan ada bagian yang landai. Tak hanya kaum difabel yang menikmati fasilitas itu, warga lain pun lebih nyaman dan tak berisiko jatuh.
Namun, seperti kata Wuri, diskriminasi terhadap difabel dan kaum marjinal lainnya masih banyak terjadi. Tahun lalu, siswa tunanetra ditolak masuk madrasah aliyah di Sidoarjo. Alasannya, tak ada guru sekolah luar biasa ataupun materi berhuruf braille.
Wuri menyarankan sekolah itu mengetes kemampuan siswa membaca Al Quran. Akhirnya, siswa itu diterima dan sampai kini tak bermasalah.
Anak tunanetra, kata Wuri, tak selalu memerlukan guru khusus. Cukup guru mengucapkan apa yang ditulis di papan tulis. Materi bisa diberikan dalam bentuk softcopy dan siswa mempelajarinya lewat komputer berprogram khusus.
Maka, guru dan siswa lain perlu disiapkan dalam sekolah inklusi. Sekolah inklusi adalah pilihan yang baik ketimbang memasukkan siswa ke sekolah luar biasa (SLB). SLB cenderung berbau diskriminasi dan berkonotasi negatif.
Belum pahamnya masyarakat mengenai kapasitas, hak, dan kebutuhan difabel, tak jarang menimbulkan diskriminasi. Wuri pun harus berkeliling ke sejumlah daerah untuk mendampingi difabel lainnya. Perjalanan untuk menghilangkan diskriminasi itu masih panjang, tetapi Wuri tak lelah dan ia terus bergerak.
WURI HANDAYANI
• Lahir: Kediri, 8 Desember 1972
• Suami: Arifudin Anang Basuki
• Pendidikan:
- Fakultas Farmasi Unair, 1992-1993 (tak tamat)
- Fakultas Ekonomi Unair, 1994-1998
- Magister Akuntansi Unair, 2002-2005
- S-2 untuk Disability and Social Policy School of Policy, University of Leeds, Inggris, 2007-2008
• Pekerjaan antara lain:
- Staf khusus pengelola basis data Fakultas Kedokteran Unair, 1999-2003
- Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Bhayangkara Surabaya, 2008-kini
- Konsultan keuangan PT Citra Prima Lestari
• Organisasi antara lain:
- Direktur Eksekutif D'Care
- Ketua Advokasi untuk Hak Buruh Perempuan dan Penyandang Cacat FSPMI Surabaya - Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Penyandang Cacat Jatim
Sumber: Kompas, 4 Juni 2010
Gambar: Kompasiana.com
Gambar: Kompasiana.com
Labels:
Penyandang Disabilitas,
Tokoh,
What Diah Has Copied
Wednesday, June 2, 2010
What Diah Has Shared: Lomba Menulis untuk Mahasiswa Se-Jabodetabek
Yayasan Mitra Netra bersama Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), The International Council of Education for People with Visual Impairment (ICEVI) dan The Nippon Foundation (TNF) mengajak rekan-rekan mahasiswa se-Jabodetabek untuk berperan dalam upaya menumbuhkembangkan kampus yang ramah pada mahasiswa penyandang disabilitas, melalui “Lomba Menulis”.
Pilihan tema:
1. Strategi Mewujudkan Kampus yang Ramah dan Non-Diskriminatif bagi Penyandang Disabilitas.
2. Peran Pusat Layanan Disabilitas di Perguruan Tinggi.
Ketentuan lomba:
Peserta adalah mahasiswa aktif Strata 1.
1. Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan 2 (dua) tulisan untuk masing-masing tema.
2. Tulisan belum pernah diikutsertakan pada kegiatan lomba apapun/dimanapun.
3. Tulisan ditulis dalam Bahasa Indonesia sesuai EYD serta tidak menyinggung unsur SARA.
4. Panjang tulisan maksimum 8 halaman A4, spasi 1.5, jenis huruf Times New Roman, dan ukuran font 12.
5. Tulisan dikirim paling lambat tanggal 30 Juni 2010 pukul 12.00 WIB dalam bentuk softcopy berformat Ms. Word ke alamat e-mail: inklusipaper@ yahoo.co. id, dilampiri CV penulis yang berisikan informasi:
• Nama lengkap.
• NIM (Nomor Induk Mahasiswa).
• Jurusan, fakultas, semester, dan universitas.
• Tempat, tanggal lahir.
• Alamat rumah.
• Kontak (nomor telepon/HP dan e-mail).
• Daftar tulisan yang pernah dibuat (jika ada).
Dewan Juri:
1. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, MSc (Dekan FISIP UI).
2. Jodhi Yudono, Redaktur Senior Kompas.com.
Hadiah:
• Juara 1 mendapatkan piagam dan uang sebesar Rp. 1.800.000
• Juara 2 mendapatkan piagam dan uang sebesar Rp. 1.300.000
• Juara 3 mendapatkan piagam dan uang sebesar Rp. 800.000
Pengumuman pemenang akan dilakukan pada 20 Juli 2010, disampaikan ke seluruh peserta melalui e-mail.
Penyerahan hadiah dilakukan bersamaan dengan kegiatan Seminar/Kuliah Umum di Universitas Indonesia (UI) pada 28 Juli 2010.
Jika membutuhkan informasi lebih lanjut, silakan hubungi Yayasan Mitra Netra:
Contact person: Muizzudin Hilmi
Telepon: 021-7651386
E-mail: muiz@mitranetra. or.id
(^^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****)
PENGUMUMAN PERPANJANGAN WAKTU
LOMBA MENULIS UNTUK MAHASISWA SE-JABODETABEK
Mengingat kondisi yang berkembang, Yayasan Mitra Netra selaku Panitia Lomba Menulis untuk Mahasiswa Se-Jabodetabek memperpanjang waktu pelaksanaan lomba. Waktu terakhir pengiriman tulisan dan CV penulis yang semula kami jadwalkan tanggal 30 Juni 2010 pukul 12.00 WIB diperpanjang hingga tanggal 10 Juli 2010 pukul 12.00 WIB melalui e-mail: inklusipaper@ yahoo.co. id. Untuk informasi lebih silakan menghubungi:
Yayasan Mitra Netra
Contact person: Muizzudin Hilmi
Telepon: 021-7651386
E-mail: muiz@mitranetra. or.id
Terima kasih kami sampaikan kepada kawan-kawan mahasiswa yang telah mengirimkan karyanya. Kami tunggu partisipasi kawan-kawan mahasiswa yang lain.
(^^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****^^^^^*****)
PENGUMUMAN PERPANJANGAN WAKTU
LOMBA MENULIS UNTUK MAHASISWA SE-JABODETABEK
Mengingat kondisi yang berkembang, Yayasan Mitra Netra selaku Panitia Lomba Menulis untuk Mahasiswa Se-Jabodetabek memperpanjang waktu pelaksanaan lomba. Waktu terakhir pengiriman tulisan dan CV penulis yang semula kami jadwalkan tanggal 30 Juni 2010 pukul 12.00 WIB diperpanjang hingga tanggal 10 Juli 2010 pukul 12.00 WIB melalui e-mail: inklusipaper@ yahoo.co. id. Untuk informasi lebih silakan menghubungi:
Yayasan Mitra Netra
Contact person: Muizzudin Hilmi
Telepon: 021-7651386
E-mail: muiz@mitranetra. or.id
Terima kasih kami sampaikan kepada kawan-kawan mahasiswa yang telah mengirimkan karyanya. Kami tunggu partisipasi kawan-kawan mahasiswa yang lain.
Subscribe to:
Posts (Atom)